"Saya kapok, Pak. Mending bayar mahal daripada anak saya gak dapat apa yang seharusnya ia dapat," seru salah seorang ibu, mantan wali murid saya ketika kami bersua beberapa waktu lalu.
Bersama sang anak, ia menceritakan alasan mengapa tak lagi menyekolahkan putranya ke SD Negeri tempat saya mengabdi dulu. Meski merasa tertohok dan juga miris, namun saya mencoba obyektif mendengarkan penjelasan dari yang bersangkutan.
"Kemarin itu, guru-guru kelas 6 masih disuruh jaga kantin, Pak sama KSnya yang baru. Lah gimana bisa konsentrasi ke anak-anak. Ini sudah banyak diprotes sama wali murid yang lain. Tapi karena sudah tanggung ya sudah. Makanya, ini adiknya saya sekolahkan di SD swasta saja. Yang kelihatan niat gurunya. Bagi saya, gak aneh-anek kok, Pak. Anak saya dididik dengan bener sudah cukup", lanjutnya.
Saya tersenyum getir sambil memandang sang anak yang berseragam hijau putih dengan bangganya. Padahal, beberapa tahun lalu kala sang kakak bersekolah di SD saya, ibu tersebut berharap adiknya bisa juga bersekolah di tempat yang sama.
Dari cerita ini, timbul beberapa pemikiran yang menjadi alasan beberapa orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya di SD Negeri meski di lembaga tersebut memberikan beberapa kemudahan. Kemudahan tersebut antara lain murahnya biaya pendidikan atau bahkan gratis hingga jarak sekolah yang cukup dekat dengan rumah.
Lagi-lagi, saya kembali mencoba objektif untuk menarik beberapa alasan dari tindakan tersebut. Meski, alasan ini bukan merupakan sebuah kesimpulan umum karena masih banyak juga SD Negeri yang memiliki kualitas bagus dan berdaya saing tinggi.Â
Namun, beberapa alasan ini bisa menjadi pelajaran bagi beberapa SD Negeri yang cukup buruk kualitasnya dan mengalami penurunan meski beberapa tahun sebelumnya memiliki banyak prestasi.
Kurikulum Sekolah yang dibuat tidak sebagai mana mestinya
Kurikukum sebuah sekolah adalah ibarat kemudi di dalam sebuah sekolah yang mencakup segala jenis hal teknis sekolah tersebut, seperti visi-misi, tujan sekolah, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, silabus, dan RPP serta perangkat teknis lainnya.Â
Kurikulum ini seharusnya disusun tiap tahun dan memerhatikan segala potensi dan sumberdaya yang ada di dalam sekolah tersebut.
Bagi SD Negeri, kegiatan pembelajaran di dalam biasanya telah mendapat satu paket kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun, hal itu bukan berarti suatu SD Negeri dapat begitu saja menjiplak kurikulum dari SD Negeri lain tanpa melakukan telaah yang lebih lanjut mengenai kurikulum yang akan dipakai. Telaah lebih lanjut ini biasa disebut sebagai School Review dan Benhcmarking. Apa maksudnya?
School review dilakukan untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas lembaga sekolah serta mutu lulusan. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan semua komponen sekolah, dengan melibatkan tenaga ahli dan orang tua siswa. Sedangkan, benhcmarking merupakan kegiatan menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa parameter umum seperti:
- Seberapa baik kondisi satuan pendidikan/sekolah?
- Harus menjadi seberapa baik satuan pendidikan pendidikan/sekolah?Â
- Bagaimana cara mencapai target dan menghadapi tantangan tersebut?
Masalahnya, tak banyak SD Negeri yang melakukan kegiatan ini. Pengalaman saya dulu membantu KS dalam membuat kurikulum adalah mendapat file kurikulum dari sebuah SD Negeri yang telah melakukan kegiatan School Review dan Benhcmarking tersebut.
Kami para pembuat kurikulum hanya perlu mengedit isi dari kurikulum sesuai dengan kondisi teknis sekolah kami. Itupun hanya sebatas hal-hal umum semisal jam belajar siswa, kegiatan ekskul, dan beberapa kegiatan seremonial seperti PHBN dan PHBI. Tak hanya di sekolah saya, kegiatan copy paste ini juga dilakukan di beberapa SD Negeri karena mepetnya waktu pengerjaan.
Malangnya, program-program penting yang seharusnya tercantum di dalam kurikulum tidak termuat dengan baik. Contoh nyatanya adalah bagaimana cara sekolah menangani siswa yang terindikasi berkebutuhan khusus. Karena tak ada program tersebut di dalam kurikulum, maka beberapa tahun seringkali terjadi masalah dengan siswa-siswa tersebut.
Berkali-kali pula guru kelas yang mengampu siswa tersebut harus bolak-balik ke PLA (Pusat Layanan Autis) dan harus mendampingi siswa tersebut untuk konsultasi. Padahal, konsentrasi guru tersebut tak hanya untuk beberapa siswa tersebut.
Membandingkan dengan SD swasta yang tak jauh dari sekolah saya, mereka sudah jauh berlari ke depan. Kurikulum pun sudah dirancang sedemikian rupa dengan berkonsultasi dengan para ahli.Â
Aneka program sekolah pun sudah dirancang sedemikian rupa bagi anak-anak dengan berbagai kondisi. Program-program unggulan pun sudah dirancang. Program inilah yang rupanya menarik orang tua untuk menyekolahkan anaknya di SD swasta tersebut.
Kegiatan Kesiswaan yang Terbatas
Sekolah murah apalagi gratis memang adalah dambaan bagi setiap orang tua dan pelaku dunia pendidikan. Tapi, hal ini juga memiliki sisi lain yakni tidak leluasanya SD Negeri di dalam mengembangkan kegiatannya. Dana BOS yang menjadi satu-satunya pemasukan sekolah bisa menjadi bumerang bagi sebuah sekolah.
Patokan jumlah dana yang sudah harus difungsikan sedemikian rupa membuat beberapa kegiatan sekolah tak akan bisa dilakukan di SD Negeri. Kegiatan semacam ekstrakulikuler harus ditata sedemikian rupa agar mampu mengakomodasi siswa-siswi dengan dana terbatas.
Selain pramuka, bagi kebanyakan SD Negeri tak banyak ekskul yang bisa difasilitasi. Tak banyak pula kegiatan yang bisa meningkatkan kemampuan siswa. Padahal, beberapa orang tua jelas menginginkan sang anak tak hanya berprestasi di dalam bidang akademik maupun nonakademik.
Memang, beberapa SD Negeri berani mengambil langkah bekerja sama dengan orang tua mengenai masalah pendanaan aneka kegiatan tersebut. Namun, kembali ke pokok persoalan, mengambil tindakan tersebut juga harus dilakukan secara hati-hati karena larangan penarikan dana orang tua di SD Negeri cukup ketat.
Salah satu contohnya adalah ketika penyelenggaraan ON MIPA, Lomba Bina Kreativitas Siswa, dan kegiatan O2SN. Walau kadang kegiatan tersebut nyatanya memakan dana tak sedikit, namun tak jarang pula orang tua yang rela mengeluarkan banyak demi sang anak.
Kedisiplinan dan keamanan sekolah kurang
Masalah kedisiplinan juga menjadi hal pokok beberapa orang tua mengalihkan pilihannya dari SD Negeri ke SD Swasta. Salah satunya mengenai jam masuk sekolah, hukuman yang tepat bagi siswa yang melanggar, dan paling penting adalah mengenai ketertiban kegiatan antar jemput siswa.Â
Longgarnya pengawasan terhadap keluar masuk orang tua ketika antar jemput siswa di beberapa SD Negeri ternyata menjadi salah satu alasan bagi orang tua siswa mengalihkan pilihannya ke SD swasta.
Porsi Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PABK) yang kurang
Satu hal utama yang juga menjadi alasan pengalihan pilihan orang tua ke SD swasta adalah masalah pendidikan agama. Hal ini berlaku terutama pada SD swasta yang berciri khas agama tertentu, semisal SDI, SD Kr, atau SDK.
Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa pendidikan agama di SD Negeri hanya 2 jam pelajaran tiap minggu. Itupun belum termasuk jika sang guru agama meninggalkan kelas karena suatu acara atau kegiatan lain. Apakah ini cukup? Tentu tidak. Untunglah, beberapa SD Negeri kini sudah menjalani kegiatan Program Penguatan Karakter (PPK) yang memfasilitasi kegiatan agama lebih banyak dengan model belajar lima hari.
Di SD swasta yang berlatar keagamaan, pendidikan agama mendapat porsi yang cukup banyak. Di SDI, kegiatan shalat berjamaah, Baca Tulis Al-Quran dilakukan secara kontinyu dan menggunakan metode unggulan sekolah tersebut. Pun demikian dengan kegiatan keagamaan Nasrani di SD Kr./SDK yang juga melibatkan pemuka agama. Tentu, beberapa orang tua akan lebih memilih SD Swasta yang memfasilitasi kegiatan keagamaan dalam porsi lebih untuk membentuk karakter putranya di sekolah dasar.
Tak dipungkiri, kinerja beberapa guru di SD Negeri memang di bawah standar. Datang terlambat, sering meninggalkan kelas, atau hal lain yang semestinya tidak dilakukan. Bagi beberapa Guru PNS yang nakal, hal ini lumrah terjadi.Â
Guru honorer pun juga ada yang bekerja di bawah standar. Semuanya kembali kepada ketegasan Kepala Sekolah di dalam manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK).
Di beberapa SD Swasta, aturan bagi guru, siswa, dan warga sekolah dilakukan secara lebih ketat. Peran yayasan atau lembaga yang menaungi sekolah tersebut juga banyak berperan untuk menjaga kualitas sekolah tersebut. Maka, salah satu alasan beberapa orang tua memilih SD swasta adalah masalah kedisiplinan yang menjadi modal dasar pembentukan karakter siswa.Â
Modal dasar yang sebenarnya dimulai dari sang guru itu sendiri. Peran Kepala Sekolah juga tak kalah penting karena masih saja terdengar beberapa oknum Kepala Sekolah di SD Negeri yang bertindak di luar aturan dan sewenang-wenang.
Meski begitu, berita mengenai SD Negeri yang kekurangan murid dalam PPDB tahun ini seharusnya menjadi lampu kuning bagi sekolah-sekolah tersebut untuk memperbaiki diri. Dan tentunya, peran pemangku kepentingan di dunia pendidikan bisa mencari langkah taktis agar SD Negeri kembali menjadi pilihan utama dan mencetak lulusan yang berkualitas.
Sekian, Mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.
Sumber Bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H