Saya masih belum yakin kalau bangunan tua di depan saya itu adalah sebuah museum.
Selepas tiba di bilangan Jalan Indrapura Surabaya, hati saya masih bimbang. Seperti biasanya, teriknya panas langsung menghujam tubuh saya.Â
Tampak samar-samar di seberang jalan sebuah bangunan sekolah SMA Katolik Stella Maris yang masih sepi karena libur. Memberanikan diri masuk ke dalam bukanlah pekerjaan mudah. Masih antara ya dan tidak, langkah kaki saya terasa berat.
"Museumnya buka, Pak?" tanya saya kepada sang satpam.
"Oh, buka, Mas. Masuk saja. Sepeda motor diparkir di dalam."
Langkah saya menjadi ringan. Saya hanya takut kalau kedatangan saya ke sini akan gagal lagi lantaran museum ini tutup. Selepas memarkir motor, saya dan teman lalu beranjak ke lokasi di mana museum berada.
Menempati bangunan bekas rumah sakit tua, bangunan bercat merah muda ini menyiratkan betapa kontrasnya ia diantara gedung pencakar langit di pusat Surabaya.
Setelah melangkah beberapa saat, saya tiba di pintu loket. Seorang petugas pria paruh baya siap melayani saya dengan ramah. Beliau meminta saya membayar tiket seharga 1500 rupiah untuk tiap orang.
Sang petugas mengarahkan kami agar mengikuti alur kunjungan yang terdiri dari 3 bagian, yakni kesehatan sejarah, kesehatan iptek dan kesehatan budaya.
Pintu pun kami buka. Alangkah terkejutnya kami ketika melihat aneka peninggalan yang ditata rapi sedemikian rupa. Dengan pencahayaan yang cukup terang, sebenarnya ruangan ini sangat nyaman. Hanya, masalah kembali ke suasana awal. Sepi.
Gambaran mengenai sejarah kesehatan dipamerkan, baik di dunia maupun di Indonesia. Informasi mengenai sejarah teknik mengobati orang di berbagai belahan dunia hingga gambaran wabah penyakit menular.