Kami memanggilnya dengan nama Mada, akronim dari Mama Ida.Â
Pemilik nama Ida Dwi Wulandari ini adalah salah seorang pengajar di sekolah tempat saya pernah mengabdi, SD Negeri Kasin, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Selama saya mengajar di sana, Mada adalah teman, ibu, sekaligus guru bagi saya dan rekan-rekan guru honor lainnya.
Setiap pagi, Mada menjadi pengajar sebagai Guru Kelas 2. Memangku tanggung jawab dari sekitar 30 murid, Mada dengan telaten mendidik, memberi ilmu, dan membuat suasana kelas menjadi nyaman. Bukan pekerjaan mudah menjadi Guru Kelas rendah. Karakter siswa-siswi kelas rendah yang masih senang bermain, aktif bergerak, dan dengan rasa ingin tahu yang tinggi menjadi santapan sehari-hari bagi ibu guru berkacamata ini. Namun, dengan pengalaman selama kurang lebih 20 tahun mengajar, Mada menjadi salah satu Guru Kelas favorit di SDN Kasin.Â
Hampir semua siswa yang pernah bersekolah di sini pasti kenal dan ingat dengan Mada. Suaranya yang menggelegar penuh semangat ketika menerangkan, hukuman unik bagi siswa yang melanggar, hingga cara Mada melerai perkelahian sepele antar siswa membuatnya sering disebut "polisi sekolah".
Tak sekedar dekat, kami hampir setiap hari mencurahkan keluh kesah sebagai guru honorer yang masih memiliki jam terbang rendah. Dengan telaten, Mada memberi banyak masukan dan saran. Kami sering mendapat ilmu baru mengenai cara menerangkan pelajaran kepada siswa, menengahi konflik antar murid, berkomunikasi dengan wali murid, hingga menyusun perangkat pembelajaran dan penilaian siswa yang benar.
Bagi guru-guru honorer muda yang masih belum memiliki banyak pengalaman, seringkali kami menemui kesulitan tersebut. Kadang, kami cukup kesulitan jika berkonsultasi dengan Kepala Sekolah. Selain sang Kepala Sekolah yang cukup sibuk, rasa segan seringkali muncul pada kami.Â
Berkeluh kesah dengan rekan guru senior lain juga kadang membuat kami merasa masih berjarak. Maka, Mada mengambil peran yang cukup sentral diantara kami. Jika ada hal teknis yang dirasa harus diselesaikan bersama, barulah Mada akan meminta kami untuk menghadap Kepala Sekolah agar permasalahan yang kami hadapi bisa diselesaikan dengan baik.
Peran sentral Mada di sekolah kami memang cukup penting. Mada menjadi ujung tombak sekolah dalam aneka kegiatan perencanaan dan pelaporan keuangan. Meski bukan sebagai Bendahara Sekolah, namun sejak lama Mada telah memegang tanggung jawab dalam keuangan sekolah mendampingi sang Bendahara. Dengan tugasnya yang cukup berat, Mada juga harus membagi konsentrasinya antara mengajar dengan tugas pelaporan keuangan.
Hampir tiga tahun, saya dan Mada menjadi satu tim dalam pelaporan BOS. Suka, duka, dan aneka kejadian unik ketika pelaporan sering kami alami. Petang demi petang juga sering kami lalui untuk menyelesaikan laporan keuangan dengan benar agar dana dari pemerintah bisa cair untuk kegiatan operasional sekolah. Di tengah kesibukan itu, beberapa kali saya menyimpan kekhawatiran.
Di tengah semangatnya yang menyala-nyala, saya yakin di hati kecilnya bergetar akan nasibnya yang hingga kini masih berstatus Guru Honorer K2. Apalagi, pada kesempatan terakhir tes CPNS yang diadakan beberapa waktu lalu oleh pemerintah kota, Mada adalah satu-satunya peserta yang tak lolos tes tersebut. Padahal, semua rekan-rekannya satu sekolah dengan masa tugas lebih sedikit telah diangkat menjadi PNS.Â
Ketika saya mencoba menanyakan apakah Mada merasa kecewa dengan realita yang ia hadapi sekarang, ia hanya mengatakan baginya kini bukan lagi status PNS yang menjadi pemikirannya. Bagaimana Mada bisa tetap sehat dan semangat mengajar serta menyelesaikan tugas sekolah dengan baik adalah tujuan utamanya. Sungguh, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Tekad kuat itu ternyata bukan hanya terucap di bibir saja. Pada suatu hari, Mada mendapat selebaran dan broadcast dari Forum Guru Honorer K2 untuk mengikuti demo menuntut kejelasan nasib mereka di Balaikota. Saat itu, kami juga sedang berusaha menyelesaikan laporan keuangan. Melihat selebaran itu, saya spontan mempersilahkan Mada untuk ikut dalam aksi. Tetapi, dengan tegas ia menolak ajakan itu.
Menurut Mada, bergabung aksi demo bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah saat ini. Tugas sekolah akan terbengkalai dan ia akan mendustai pekerjaannya sebagai guru karena hanya terdistorsi dengan uang. Baginya, menjadi guru adalah pekerjaan yang nilainya tak bisa dihargai dengan uang. Berapapun nilainya. Kata-kata yang begitu masuk di dalam sanubari saya. Padahal saya tahu, di dalam kehidupan sehari-harinya Mada cukup kesulitan dalam hal ekonomi. Gaji guru honorer yang tak sampai separuh UMR Kota jika dihitung tak akan cukup ditambah dengan sang suami yang juga bekerja buruh serabutan.
Namun, Mada selalu mengatakan tersenyumlah riang ketika engkau berada di depan kelas. Bagi Mada, seorang guru adalah pilot yang memegang kemudi kelas. Kelas akan seperti pesawat yang melewati langit yang cerah ketika sang guru bisa mengendalikannya dengan baik. Saat guru tak ada beban pikiran, fokus mengajar, dan selalu tersenyum melihat semangat siswa di kelasnya. Bagaimanapun, siswa-siswa berharap sang guru akan mengajar dengan suasana yang menyenangkan saat mereka berangkat ke sekolah. Apapun kondisi sang guru tersebut.
Sayang, kebersamaan saya dengan Mada harus berakhir tahun lalu. Ketika saya memutuskan untuk melakukan sebuah pekerjaan lain demi masa depan saya. Dalam sebuah perpisahan, saya jujur kepada Mada alasan kenapa saya tak bisa seikhlas Mada dan memutuskan untuk tak melanjutkan karir sebagai guru honorer.Â
Dengan bijak Mada berkata, keputusan saya sangatlah tepat. Sesungguhnya tempat saya bukanlah di sana. Keputusan saya untuk bisa berkembang didukung Mada. Siapa tahu, dengan keputusan yang saya ambil, suara untuk rekan-rekan guru honorer dan masalah-masalah di dunia pendidikan bisa saya aspirasikan melalui tulisan-tulisan dalam narablog.
Telah banyak pelajaran yang sudah Mada berikan pada saya. Telah banyak pula ilmu dan segala hal pengajaran yang ia berikan kepada siswa-siswinya dalam dua puluh tahun terakhir ini. Tekadnya yang kuat untuk menomorsatukan siswa-siswinya sungguh menginspirasi saya. Dalam hati yang terdalam, kalau ada kesempatan rasanya saya ingin memberi sebuah hadiah. Hadiah spesial yang mungkin akan bisa menjadi pemacu semangat Mada untuk terus mengabdi di negeri ini.
Di bulan penuh rahmat ini, hadiah spesial yang kiranya tepat untuk sosok Mada yang inspiratif ini adalah kado Umroh Allianz. Perjalanan umroh yang mungkin tak akan pernah dibayangkan oleh Mada. Tapi saya yakin, kado perjalanan umroh yang dipersembahkan oleh Allianz ini adalah apresiasi yang tepat bagi seorang guru honorer yang ikhlas dan terus semangat berjuang di jalan Allah. Yang tak terdistorsi dengan uang demi mengantarkan setiap langkah generasi penerus bangsa. Dan, doa terus saya panjatkan agar kado Umroh Allianz ini bisa terwujud.
Tulisan ini diikutsertakan juga di microsite http://kadoumroh.allianz.co.id/. Anda bisa ikut membagikan kisah inspiratif pada tautan ini dengan menggunakan hashtag #KadoUmrohAllianzKompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H