Tipe C bisanya adalah tipe yang sering dilaksanakan untuk siswa-siswi SD kelas kecil (1,2,3). Tipe A dan B biasanya dilaksanakan untuk tingkatan pendidikan selanjutnya seiring bertambahnya usia dan tanggung jawab siswa tersebut. Ada juga beberapa sekolah yang mengombinasikan beberapa tipe PR tersebut untuk mengisi kegiatan Ramadan siswa-siswinya.
Nah, jika disuruh memilih, tipe mana yang menjadi favorit saya?
Selama masa sekolah dulu, baik dari SD hingga SMA, saya pernah mengalami semua tipe Pondok Ramadan. Namun diantara ketiga tipe tersebut, tipe A adalah tipe yang paling saya sukai. Saya mengalami tiga kali PR dengan tipe A, yakni saat masih duduk di bangku kelas VII, VIII, dan IX SMP.
Tak hanya 2 hari, peserta PR di sekolah saya bahkan menginap selama 3 hari 2 malam. Karena saya pernah menjadi pengurus BDI (Badan Dakwah Islam), maka saya menginap selama 6 hari di sekolah sekaligus merangkap sebagai panitia. Nah, keseruan apa yang saya dapat?
Keseruan yang paling saya ingat adalah tebak-tebak buah manggis menunggu menu buka puasa dan sahur. Menu keduanya dikoordinasi oleh salah satu wali murid. Biasanya, kami akan mengghibah dengan sesama teman apakah menu sahur dan buka puasa yang akan dihidangkan sesuai selera atau tidak. Maklum, masa pubertas adalah masa-masa pertumbuhan optimal. Jadi, porsi makan pada waktu itu mencapai puncaknya yang juga linear dengan selera makan.
Sebelum kegiatan PR berlangsung, Guru PAI akan meminta kami untuk membayar uang untuk biaya makan. Setelah uang terkumpul, barulah tiap wali murid yang ditunjuk akan diberi pengarahan oleh Guru PAI. Masalahnya, tiap wali murid memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai penyediaan menu sahur dan buka puasa. Ada yang begitu royal, standar, bahkan ada pula yang pelit dengan harga makanan yang sama. Â
Dari ketiga persepsi wali murid ini, saya pernah merasakan semuanya. Menu buka puasa dari wali murid yang royal berupa satu set makanan cepat saji, ditambah susu yoghurt kemasan, makanan ringan, hingga aneka buah-buahan. Saya hanya bisa memakan makanan pembuka saja kala itu. Perut sudah tak kuat rasanya.Â
Namun, saya juga pernah merasakan sahur dari wali murid yang cukup pelit. Berupa nasi kotak berisi sayap ayam dengan potongan kecil, satu buah kurma, dan air mineral dalam gelas. Alhamdulillah. Kalau saya sih cukup saja. Tapi tidak dengan teman lelaki yang porsi makannya aduhai. Dan, aneka ghibahan pun muncul. Sungguh, kegiatan yang tak patut.
Mengikuti kegiatan PR tipe A, bagi anak rumahan berarti harus bersiap untuk berpisah dengan orang tua dalam waktu yang cukup lama. Tapi, suasana pondok pesantren yang cukup kental sebenarnya menambah keasyikan Pondok Ramadan ini. Diantara keasyikan ini, terkisah pula orang tua yang tak tega dengan nasib sang anak.Â
Pagi, siang, sore, hingga malam ia akan menjenguk anaknya. Sampai sang Guru PAI akan menegur mengapa yang bersangkutan tidak ikut PR saja. Guru PAI memang mempersilakan orang tua untuk mengunjungi sang anak untuk sekedar mengantar cemilan atau kebutuhan lain. Namun, waktu pengantaran ini dibatasi hanya saat sore hari menjelang waktu berbuka puasa.Â
Pada saat ini, suasana di sekolah layaknya pasar yang penuh dengan orang tua. Para pedagang yang biasanya berdagang di siang hari, juga turut mulai memenuhi area luar sekolah.