Rangkaian perbukitan hijau yang seakan memanggil saya juga tampak jelas di depan mata. Saya bisa menduga, nun jauh di sana terdapat Bukit Gombel yang terkenal angker oleh masyarakat sekitar. Bukit yang memiliki sebuah tanjakan ekstrem ini dikenal sebagai penghubung antara Semarang atas dengan Semarang Bawah.Â
Di bagian selatan ini pula, saya juga bisa melihat geliat pembangunan gedung pencakar langit. Artinya, kedua daerah ini sama-sama melaju kencang untuk menjadikan Kota Semarang menjadi satu kesatuan tanpa disparitas yang menganga.
Entah, mengapa warna kampung ini mulai memudar, saya tak tahu alasan utamanya. Apa karena tak ada tiket masuk sehingga warga kekurangan dana atau apa, saya hanya bisa menerka. Pudarnya warna juga tampak pada beberapa tembok rumah warga yang dilukis sebelumnya. Hanya pada sekitar pintu masuk warna-warni pelangi yang tampak meriah. Semakin ke atas, warna itu semakin pudar.
Maka dari itu, sesekali saya bertemu dengan wistawan lokal lain yang saling bertanya, akan ada apa di jalan menuju puncak. Atau, sebagian lagi bingung ke mana arah menuju toilet, pintu keluar, dan tempat-tempat menarik lainnya.
Kijing makam muslim berselang-seling dengan indahnya dengan tanda salib yang menandakan bahwa makam tersebut diistirahatkan pemeluk nasrani. Ternyata, inilah makna dari pelangi itu. Aneka warna yang berbeda dan berpadu dalam pesan kematian.
Sejak diwarnai pada 2017 lalu, kampung ini memang menarik perhatian dunia. Kampung yang kumuh memang telah berubah warna. Namun sayang, andaikata warna dari kampung pelangi ini mulai memudar dan akan hilang dengan bergulirnya waktu.Â
Ketika saya melihat banner bertuliskan Lapor Mas Hendi, sang walikota Semarang, mungkin ini yang bisa saya laporkan mengenai salah satu sudut kotamu, Mas. Sudut yang berharga, namun sayang tanda-tanda untuk meredup itu mulai tampak. Tapi, saya masih bisa berteriak kepada dunia bahwa kampung ini layak dikunjungi.