"Berapa, Bu?", tanya saya kepada seorang ibu penjual nasi di sekitar Blok O (RS Harjolukito) yang dekat dengan kosan saya.
"Lima ribu mas", jawab sang Ibu.
Saya terbelalak. Remah-remah makanan yang sudah jadi bubur di lambung berasa ingin kembali ke esofagus. "Tadi nasi saya banyak loh, Bu. Sayurnya juga. Tempenya juga. Belum sama teh hangat."
Saya masih sedikit shock.
"Iya mas. Lima ribu. Kan nasinya 2000, sayur 1000, tempenya satu biji lima ratus jadinya seribu kalau dua biji. Teh hangatnya seribu", sahut Ibu itu menjelaskan dengan detail invoice yang harus saya bayarkan.
Saya masih seperti mimpi. Ya Tuhan. Anugerah apa yang kau berikan padaku ?
Percakapan antara saya dengan pemilik warung tersebut masih terngiang di kepala saya saat pertama kali menginjakan kaki di Yogyakarta dan tinggal untuk jangka waktu lama. Lima ribu gitu? Sehari 15 ribu? Sebulan (bisa) 450 ribu? Nasi ambil sendiri?
Saya masih belum yakin akan sebuah fakta tadi. Ilusi semu masih membayangi saya. Jangan-jangan memang hanya warung tadi yang memang murah. Kalau saya tak makan di warung tersebut, lantas apakah saya akan menemukan harga serupa di warung lainnya? Apakah ini tagline Berhati Nyaman yang tersemat untuk Kota Jogja terbukti meski secara teritorial saya tinggal di Bantul?
Rupanya, jawaban yang tepat adalah tergantung di mana kita akan makan. Kalau kita makan di spot-spot yang maharani alias malah jaya, ya fakta tadi akan salah besar. Di kota manapun, makanan cepat saji kelas atas tetaplah mahal, di atas 20.000. Harganya sama. Di kota manapun juga, harga makanan kelas menengah, semisal warung penyetan dan segala macam sambal itu, juga hampir sama. Di kisaran antara 10.000 hingga 20.000 rupiah ke atas tiap kali makan.