Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bukti Bakti Anusapati pada Relief Candi Kidal, Malang

3 Mei 2018   23:18 Diperbarui: 3 Mei 2018   23:42 1728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali, motor saya membelah wilayah pedesaan di Kabupaten Malang. Lama tidak mengendarai motor membuat saya betah berada di atas jok meskipun harus berjam-jam di atasnya.

Perjalanan di kali ini membawa saya ke wilayah Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Salah satu kecamatan ramai yang menghubungkan Kota Malang dengan Gunung Bromo tersebut juga memiliki banyak tempat wisata unik. Salah satunya adalah Candi Kidal. Candi yang terletak di Desa Kidal ini merupakan salah satu candi yang cukup tua di daerah Jawa Timur selain Candi Badut. 

Meski pembangunan candi ini dilakukan pada masa Kerajaan Singosari, tak ada candi lain yang ditinggalkan oleh Airlangga selain Belahan dan Jolotundo saat kejayaan Kerajaan Medang Kamulan membuatnya menjadi inisiasi dari candi-candi lain pada masa Singosari.

Inisiasi transformasi yang diawali oleh candi ini membuatnya unik. Para ahli menyatakan bahwa candi ini adalah prototipe dari Candi Jawa Timuran. Artinya, pembuatan candi sedang mengalami masa transisi dari gaya Jawa Tengahan menuju gaya candi gaya Candi Timuran. Jika diibaratkan, bentuk candi ini berubah dari bentuk yang gemuk dan ginuk-ginuk menuju bentuk yang ramping dan menjulang seksi. Candi ini sendiri dibangun pada tahun 1248 M setelah upacara pemakaman Raja Anusapati, raja kedua Kerajaan Singosari.

Candi Kidal yang merupakan peralihan dari Candi Jawa Tengahan menuju Candi Jawa Timuran. Jika diibaratkan, ia seperti seseorang yang sedang melakukan diet, dari ginuk-ginuk menjadi ramping. - Dokumen Pribadi
Candi Kidal yang merupakan peralihan dari Candi Jawa Tengahan menuju Candi Jawa Timuran. Jika diibaratkan, ia seperti seseorang yang sedang melakukan diet, dari ginuk-ginuk menjadi ramping. - Dokumen Pribadi
Memasuki halaman candi, tak banyak orang yang berkunjung di hari itu. Saya datang dua jam setelah candi buka. Jam buka candi ini sendiri adalah pukul 07.00 hingga 16.00. Taman yang mengelilingi candi menggelitik saya untuk segera memasuki candi. Namun, saya harus berhati-hati karena jalan paving menuju candi tersebut memiliki anak tangga yang tak terlihat. Terlalu semangat, kaki saya bisa saja terantuk anak tangga tersebut. Tangga semu ini sebenarnya adalah susunan batu yang berfungsi sebagai pagar. Kesemuan tangga batu ini semakin paripurna karena tak dilengkapi dengan pipi tangga berbentuk ukel sebagaiman pada candi-candi lain.

Sayang, saya tak segera bisa memasuki candi karena ada tulisan larangan memasuki candi selain izin dari petugas. Jadi, pada kunjungan kali ini saya hanya akan mengulik relief dan bagian-bagian candi yang tak saya lakukan sebelumnya dengan detail. Terbuat dari batu andesit, candi ini berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi 2 meter. 

Menghadap ke pintu candi, saya selalu dikejutkan dengan hiasan kalamakara (kepala kara) di bagian atas pintu tersebut. Hiasan yang menyeramkan ini memiliki mata yang melotot serta dua taring yang besar dan bengkok. Rasa-rasanya, ia akan melahap saya hidup-hidup. Dua taring tersebut sebenarnya merupakan ciri khas candi Jawa Timuran. Keseraman pintu candi ini semakin lengkap dengan adanya dua jari tangan runcing dengan sikap mudra yang mengancam.

Kalamakara pada pintu candi yang menyeramkan. - Dokumen Pribadi
Kalamakara pada pintu candi yang menyeramkan. - Dokumen Pribadi
Hiasan pada kaki candi. - Dokumen Pribadi
Hiasan pada kaki candi. - Dokumen Pribadi
Keunikan lain dari candi ini adalah atapnya yang berbentuk kotak bersusun tiga. Semakin ke atas, makin kecil susunannya. Namun, puncak candi tidak runcing seperti yang saya temui di Candi Jawi maupun Candi Singosari. Tak hanya itu, puncak atap tak dihiasi ratna atau stupa, namun hanya datar begitu saja. Hanya ada hiasan bunga dan suluran kecil. Mungkin inilah yang menyebabkan candi ini disebut peralihan dari dua gaya candi yang sering dikenal.

Atap candi. Ketika memotret candi, keindahan paripurna bagi saya adalah menyertakan sejumput dedaunan pohon yang menggantung di sekitarnya. - Dokumen Pribadi
Atap candi. Ketika memotret candi, keindahan paripurna bagi saya adalah menyertakan sejumput dedaunan pohon yang menggantung di sekitarnya. - Dokumen Pribadi
Karena sudah memiliki tekad akan membaca relief candi, saya hanya berputar berlawanan arah jarum jam dari pintu candi ini. Alasan tersebut yang membuat candi ini disebut Candi Kidal karena untuk membaca candi ini harus dimulai dari sebelah kiri dan berlawanan arah jarum jam. Lagi-lagi, hal ini merupakan anomali dari kebanyakan candi lainnya. 

Dari literasi yang saya baca di pintu masuk candi, di dalam relief Candi Kidal ini menggambarkan mitos Garudheya. Mitos ini merupakan sosok penggambaran seekor garuda yang membebaskan ibunya dari perbudakan dengan menggunakan air suci amerta (air kehidupan). Nah mitos yang tergambar dalam relief ini konon diyakini sebagai bentuk ruwatan (upacara keselamatan) yang diinginkan Anusapati kepada ibunya Ken Dedes. Kecintaannya kepada sang ibu membuat Anusapati membuat candi tempat pendarmaannya untuk melambangkan cerita tersebut.

Relief seekor Garuda yang menggendong seorang wanita. Perlambang bakti Garudheya terhadap sang ibu meskipun ia adalah anak angkat. Mitos ini cukup berkembang pesat pada masyarakat Jawa Kuno yang beragama Hindu. Di dalam agama saya sendiri (islam), perintah berbakti kepada ibu juga menjadi ajaran wajib bagi tiap muslim. - Dokumen Pribadi.
Relief seekor Garuda yang menggendong seorang wanita. Perlambang bakti Garudheya terhadap sang ibu meskipun ia adalah anak angkat. Mitos ini cukup berkembang pesat pada masyarakat Jawa Kuno yang beragama Hindu. Di dalam agama saya sendiri (islam), perintah berbakti kepada ibu juga menjadi ajaran wajib bagi tiap muslim. - Dokumen Pribadi.
Saya memulai dari relief pertama di bagian kiri candi yang menghadap ke arah utara. Pada relief ini tergambar seekor garuda yang menggendong 3 ekor ular besar. Relief kedua menggambarkan seekor garuda dengan kendi di atas kepalanya. Relief terakhir ada garuda yang mengendong seorang wanita. Relief terakhir inilah yang menggambarkan usaha pembebasan Garudheya atas ibunya bernama Dewi Winata yang menjadi budak sang adik Dewi Kadru. 

Alasan perbudakan tersebut adalah karena Dewi Winata kalah taruhan dengan Dewi Kadru. Kedua wanita bersaudara ini bersaing untuk mendapatkan perhatian dari sang suami yang sama, Resi Kasyapa. Sayang, diantara tiga relief tersebut hanya relief kedua yang masih utuh. Dua relief yang lain sudah nampak pecah.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Selain adanya relief, di sekeliling candi juga berhiaskan pahatan bermotif medalion yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga. Sulur-suluran juga menghiasi motif medalion tersebut. Tak hanya itu, di pojok-pojok candi yang menonjol keluar juga terdapat patung yang mirip dengan singa dalam posisi duduk dengan satu tangan terangkat ke atas. 

Jika dilihat seksama, patung ini seakan menyangga pelipit atas kaki candi. Entah, apa maksud dari patung tersebut. Meski mencoba menerka adakah hubungannya antara lambang singa dengan pengkultusan hewan ini oleh masyarakat Malang hingga kini, tentu ada makna lain di balik simbol singa tersebut.

Patung singa di pojok candi. - Dokumen Pribadi.
Patung singa di pojok candi. - Dokumen Pribadi.
Perjalanan saya mengelilingi candi berakhir pada sebuah pohon besar yang memayungi candi dengan samar-samar. Beberapa turis lokal mulai berdatangan yang saya yakini baru pertama kali datang ke Kota Malang. Membuka peralatan swafotonya, mereka mulai menjelajah candi demi mendapatkan potert paripurna. Namun, saya menyangsikan apakah mereka bisa sedikit memaknai nilai bakti Raja Anusapati kepada sang ibu untuk mereka renungi di kehidupan sehari-hari. 

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Ah mengapa saya jadi memikirkan itu? Pemikiran saya ini terlalu naif karena hal itu tidaklah penting sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun