Danau ini berupa genangan air bekas penambangan kapur yang berwarna  hijau dan akan berubah menjadi kebiruan pada waktu tertentu. Perubahan warna ini disebabkan perubahan bilangan oksidasi mineral yang terkandung  di dalamnya. Danau ini menjadi favorit pengunjung ketika mengunjungi bukit ini. Perahu sampan yang beraneka tulisan dan dekorasi siap  mengantar siapa saja yang ingin mengitari danau ini sambil berswafoto. Â
Nah yang unik, di dalam danau ini terdapat beberapa ikan air tawar yang  cantik. Namun, spot favorit saya adalah bebatuan besar yang berada di  tepi danau. Refleksi cahaya matahari yang mengenai air danau akan  menghasilkan bayangan tubuh sangat indah dengan latar air yang hijau  kebiruan. Sayang, saya datang tak saat senja sehingga intensitas sinar  matahari yang jatuh terlalu banyak. Alhasil, bayangan yang terjadi pun  tak terlalu sempurna.
Menurut teman saya tadi, kawasan ini akan dibangun menjadi  semacam resor lengkap dengan segala fasilitasnya. Truk dan alat berat  yang lalu lalang tadi mengantarkan bekas galian batu kapur yang diambil  dari badan bukit menjadi pemandangan yang jamak terjadi.
Jalan yang kami lalui cukup menanjak meski tidak terlalu curam. Namun,  motor besar teman saya yang gagah terguncang keras saat melewatinya. Beberapa kali kami disalip rombongan mobil yang juga berniat mendaki  puncak bukit itu. Ketika saya bertanya kepadanya apa yang terjadi, ia berkata bahwa ia lupa mengganti ban belakangnya yang sudah tepas. Saya  sempat ciut dan berniat akan turun saja. Teman saya melarang dan kami menanjak bukit itu dengan tertatih-tatih meski menggunakan motor yang  kuat.
Sesampainya di atas bukit, kami melihat pemandangan yang begitu indah.  Saya bisa memandang gugusan bukit kapur yang berderet dengan indah dipadu perbukitan hijau yang mengelilinginya. Bukit-bukit kapur tersebut  merupakan sisi-sisi akibat erosi dan pelarutan kimia pada batu gamping. Permukaan bukit terbuka dan mempunyai kenampakan yang kasar, pecah,  maupun runcing. Menikmati pemandangan dari atas bukit membuat saya lupa  harus segera kembali ke Surabaya sebelum petang datang.
Rute perjalanan menuju Surabaya sengaja kami pilih berbeda dengan rute  saat kami berangkat. Kedua rute ini akan bertemu di sebuah pertigaan yang tak jauh dari pemakaman Desa Labang. Mula-mula, jalan mulus kami  lalui. Namun ketika mendekati sisi Jembatan Suramadu, jalan benar-benar hancur ditemani rumah-rumah sederhana berbata kapur di kanan dan kiri. Â
Sesekali, kami melihat orang-orang yang duduk-duduk di pos ronda yang terletak tepat di pinggir garis pantai. Mereka memandangi Jembatan  Suramadu dan kendaraan yang berlalu-lalang. Tampak pula secara samar  Kota Surabaya dengan segala kemajuan dan hedonismenya. Meski telah  terhubung jembatan, saya bisa menyaksikan disparitas kedua daerah itu  masih ternganga. Sebuah disparitas yang terlihat nyata.