Sejak peresmiannya di tahun 2009, akhirnya saya bisa melewati jembatan terpanjang se-Asia Tenggara ini.
Perjalanan kali terakhir ke Pulau Madura saya lakukan ketika masih duduk  di bangku Kelas 3 SD.  Kapal feri yang padat menjadi andalan  saya kala itu. Mendengar kata Pulau Madura, di benak saya langsung  terpikirkan beberapa konotasi yang kurang baik.Â
Bukan berarti rasis,  namun itulah yang saya rekam saat kunjungan terakhir itu. Panas,  gersang, dan tak ada sesuatu yang menarik. Belum lagi, lamanya  perjalanan membuat saya segan untuk mengunjungi pulau ini bertahun-tahun  kemudian. Keinginan untuk mengunjungi salah satu kabupaten tertinggal ini seakan sebuah angan-angan tanpa faedah. Apa yang menarik dari daerah ini?
Waktu pun berlalu. Jembatan Suramadu yang gagah berdiri di atas Selat  Madura membuat saya berubah menjadi kepincut untuk menyambangi pulau ini lagi. Rasa penasaran saya semakin bertambah tatkala banyak pemberitaan, baik di  media sosial maupun di media massa yang mengabarkan bahwa pulau ini sedang mekar.Â
Telah terkoneksinya daerah ini dengan Pulau Jawa membuat  pembangunan di Pulau Garam semakin gencar. Salah satu pendorong pembangunan di Pulau Madura adalah mekarnya dunia pariwisata. Ada sebuah  tempat wisata baru yang mulai naik daun yang tak jauh dari ujung Jembatan Suramadu. Saya penasaran, seperti apa kira-kira bentuk dari  wisata alam yang konon berasal dari bekas pertambangan kapur bernama Bukit Jaddih tersebut.
Selepas menemui rekan saya di Surabaya, kamipun berangkat. Untung, saat  itu kami tak perlu membayar tiket tol Suramadu demi melewati jembatan ini. Angin bertiup kencang dari dua arah. Sangat tak disarankan untuk  sekedar menepi demi mencari potret pribadi di tengah jembatan ini.  Kamipun sampai di sisi Madura setelah berkendara menempuh jarak 5,4 km.
Tangan saya terus memegang GPS dan memastikan jalur yang kami ambil  benar. Tak ada papan penunjuk jalan yang ada selain di dekat Jembatan Suramadu. Hingga saat jalan semakin sempit, petunjuk jalan itu saya  temukan. Petunjuk jalan itu mengarahkan ke sebuah jalan perkampungan sempit yang dengan kontur tanah yang mulai miring.
Meski sempat ragu,  iring-iringan truk yang membawa batu kapur tiba-tiba saja kami jumpai. Keraguan saya pun sirna. Teman saya yang mengendarai motor memelankan  lajunya. Tak lama kemudian, di depan saya sudah terpampang jelas rangkaian bukit kecil berwarna keputihan tertutup pohon yang jarang di  bagian atasnya. Debu-debu kapur pun segera menimpa wajah kami.