Sudah pernah ke Jogja? Atau baru saja dari sana?
Jika belum pernah ke Jogja atau akan berkunjung ke kota gudeg itu lagi,  cobalah untuk sesekali beralih dari wisata yang berorientasi belanja dan  foto-foto ke wisata sejarah. Sayang sekali jika anda hanya menghabiskan  waktu di tempat keramaian yang sangat berpotensi terganggu kemacetan.  Maka, waktu liburan yang harusnya menyenangkan menjadi mengecewakan  karena tak banyak waktu untuk menjelajahi sisi demi sisi Kota  Yogyakarta.
Kota Yogyakarta sejatinya tidak hanya berkutat pada Malioboro, Keraton,  dan Taman Sari. Di dalam Kota Yogyakarta, tersimpan rapi aneka tempat menarik, terutama tempat wisata sejarah. Bukan isapan jempol bila kota  ini memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang terutama pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Â
Selama 3 tahun, yakni  antara 1946 hingga 1949, Kota Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia.  Selama itu pula, aneka kisah perjuangan tersimpan rapi.  Salah satunya adalah jejak sejarah di Museum Perjuangan.
Museum ini berada di bilangan Jalan Kolonel Sugiono, Yogyakarta. Kita  bisa mengunjungi museum ini dengan menaiki Trans Jogja Trayek 3B atau  2B. Halte Trans Jogja tepat berada di depan museum ini. Untuk  mencapainya, kita hanya perlu berjalan kaki sekitar 50 meter dari halte  tersebut. Jika berkendara, museum ini terletak tak jauh dari Pojok  Benteng Wetan (Jokteng Wetan) yang beberapa waktu lalu sempat heboh  karena aksi rasuah pos polisi di bekas peninggalan Keraton Yogyakarta  tersebut.
Ketika saya mulai memasuki area museum, tampak bangunan bergaya Romawi  kuno dengan relief indah di sekitar dindingnya. Relief yang tergambar pada dinding  berwarna hitam tersebut ternyata memiliki makna yakni  menggambarkan lini masa perjuangan bangsa Indonesia mulai dari tumbuh kembangnya rasa nasionalisme hingga proses pengakuan kedaulatan Republik  Indonesia Serikat, 27 Desember 1949.
Ketika saya menanyakan waktu museum mulai buka, Bapak tersebut berkata bahwa museum buka pukul 8 pagi. Saya melihat jam  sudah pukul 9 pagi. Kemungkinan, karena saya pengunjung satu-satunya pada waktu itu maka museum harus dikunci dahulu biar aman. Akhirnya,  saya disuruh menunggu ibu juru kunci museum yang ternyata sedang mencari  sarapan.Â
Setelah kedatangan sang ibu, saya harus membeli tiket masuk seharga 3000  rupiah. Tiket yang bertuliskan Museum Benteng Vredeburg ini tak banyak  tersobek pada minggu kunjungan saya. Kosongnya buku tamu yang saya isi  menyiratkan hal itu.
Museum Perjuangan ini memilki 2 lantai. Lantai pertama digunakan untuk  memasang aneka koleksi benda bersejarah dari masa detik-detik Proklamasi  hingga perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mulai dari barang-barang  peninggalan Panglima Besar Sudirman saat perang gerilya, aneka barang  saat perumusan teks proklamasi, hingga barang bersejarah lainnya.
Koleksi yang saya suka adalah petikan amanat dari Sri Sultan  Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII yang berisi penyatuan wilayah  Yogyakarta ke dalam pangkuan NKRI. Kalau saya membaca sejarah kedua  tokoh itu, mereka begitu gigih dalam berjuang dengan para tokoh RI  melawan Belanda. Inisiasi Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi bukti  keduanya menjadi benteng perlawanan rakyat Indonesia di Yogyakarta.  Layaklah status keistimewaan Jogja di dalam NKRI tersanding hingga kini.
Koleksi yang  menurut saya cukup bagus adalah rangkaian lukisan yang mengisahkan  beberapa peristiwa penting. Beberapa peristiwa tersebut diantaranya  adalah Pertempuran Kotabaru, Suasana Dapur Umum, hingga Serangan Umum.  Ada pula koleksi lain berupa patung kepala tokoh-tokoh penting, seperti  KH Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, RA Kartini, dan lain sebagainya.
Melalui pamflet, surat  kabar, hingga forum-forum diskusi mereka giat menyatukan berbagai golongan di Indonesia. Dari peninggalan sejarah ini kita bisa menarik  pelajaran bahwa dengan segala keterbatasan yang ada, mereka rela mencurahkan apa yang mereka bisa untuk menyatukan Indonesia.Â
Kalau kita  renungkan dengan acara memecah belah bangsa melalui kabar bohong dan  segerombolannya saat ini, rasanya kok sangat berdosa sekali. Bukan hal  mudah untuk menyampaikan pesan-pesan persatuan semacam itu melalui media  yang masih sederhana.
"Sekali peristiwa saya hampir-hampir dikeluarkan dari sekolah dokter  itu, oleh karena kedudukan saya sebagai ketua organisasi kami. Sementara  guru menuduh saya hendak berusaha melawan pemerintah. Menjawab tuduhan  itu, atas usulan Goenawan, teman-teman kami pun minta agar mereka juga  dikeluarkan jika saya dikeluarkan."   Â
Maka, patutlah setiap tanggal 20 Mei selalu diperingati sebagai hari  kebangkitan nasional. Jejak kebangkitan itu kini tersimpan rapi di  museum ini. Namun sayang, keberadaan jejak itu tak lantas banyak orang Indonesia  peduli atau sekedar mengenangnya. Sepinya museum ini seakan menjadi  bukti.Â
Walau tak memiliki spot swafoto yang dapat dibanggakan ke seluruh  dunia, jangan sampai nanti ada rasa penyesalan karena jejak-jejak itu  hilang ditelan zaman. Atau, ada bangsa lain yang lebih paham tentang  jejak sejarah bangsa Indonesia dibanding kita sendiri.Â
Mungkin juga, kita memang sudah tertutup ego untuk terpecah belah dan melupakan bagaimana tokoh-tokoh perjuangan pergerakan kemerdekaan bersusah payah untuk menyatukan bangsa ini. Kalau ini benar, sungguh terkutuklah kita sebagai sebuah bangsa yang besar yang tak bisa menghargai jasa para pahlawannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H