Jalan panjang menuju langit biru
Tiba-tiba kulihat seorang anak
Yang menemukan harta karun di dalam sana
Alangkah senang dan hati gembira
Anak kecil yang telah memasuki usia hampir kepala tiga ini telah menemukan harta karunnya. Bukan sekotak perhiasan emas, seorang putri raja, atau bahkan singgasana kedudukan jabatan yang paripurna. Namun, hanya seonggok kebahagiaan kecil dari penatnya rutinitas sehari-hari yang seakan tak pernah berhenti.
Sebuah mimpi dari anak kecil ini adalah mengunjungi pantai di suatu akhir pekan. Ia berpikir penghujung musim pancaroba adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan mimpi tersebut. Frekuensi badai yang tinggi, hujan deras disertai gemuruh, angin kencang di wilayah kota membuat banyak orang enggan berwisata. Di tengah pesimisme masyarakat kota menatap buruknya cuaca, sang anak kecil justru menarik kesimpulan bahwa badai memang akan terjadi di kota, namun tak akan menyentuh pantai.
Sebagai langkah konkret untuk mewujudkan mimpinya, sang anak kecil lantas mengajak dua orang temannya untuk turut serta merasakan suasana pantai yang ia impikan. Maka, di penghujung pagi mereka pun berangkat. Membelah jalan, melewati lembah dan perbukitan hingga sampai di ujung persimpangan jalan lintas selatan yang bermula dari Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.
 Menurut legenda penduduk sekitar, daerah yang terkenal dengan akronim Sumawe ini adalah pintu masuk menuju harta karun berupa rangkaian garis pantai dengan pecahan ombak menggelegar dengan angin kencang yang membuat hati tak lagi berderap kencang.
Hanya sekedar mengabadikan momen kebahagiaan yang jika dua puluh tahun lalu mereka lakukan dengan bermain layang-layang. Merasakan wanginya angin dan padang pasir di sore hari, alangkah senang dan hati gembira yang mereka rasakan.
Ah rasanya, ia ingin sekali melepas baju dan hanya mengenakan celana dalam untuk segera menceburkan diri. Seperti yang ia lakukan bersama sang teman sepulang sekolah di Kali Metro. Tapi ia lantas tersadar, usianya tak lagi anak-anak. Ia hanya bisa memandang kecut dan berharap di suatu hari nanti bisa mengajak istri dan anak bermain di sana. Entah, kapan impian itu bisa terwujud.
Tak perlu banyak kata, mereka lantas menaiki bebatuan curam. Untunglah, sang pengelola memudahkan mereka dan pengunjung lainnya dengan membuat jalan setapak dengan pengaman berupa tangga kayu untuk mencapai puncaknya. Beberapa meter dari puncak, mereka menyaksikan dua anak wanita anak-anak generasi 90an juga sedang melepas penat.Â
Berteriak kencang, memandang alam dari atas bukit, hingga membuat rekaman video. Mungkin, mereka hanya akan bermain masak-masakan dan bongkar pasang di penghujung minggu pada dua dekade sebelumnya.
Dua anak perempuan itu tak segera beranjak dari tempatnya. Mereka semakin asyik dan lupa akan waktu serta keadaan sekitar. Anak kecil dan teman-temannya menjadi jengkel. Jika berada pada masa puluh tahun sebelumnya, pasti mereka akan membuat keisengan. Melempar kerikil atau batu agar kedua anak perempuan itu segera pergi. Tapi lagi-lagi ia berpikir bahwa ia sudah bisa dikenakan hukum. Mencari tempat lain adalah ide tepat untuk mendapatkan harta karun yang ia impikan.
Sedikit usaha dengan menaiki satu tingkatan bukit lagi, ia akhirnya menemukan harta karunnya. Ia sangat senang akhirnya mimpinya tercapai. Sebuah gugusan tebing pantai yang terukir indah memagari daratan dari ganasnya ombak lautan biru. Ia sangat suka pemandangan itu. Dari kejauhan, ia mengira bahwa gugusan tebing itu seperti kue abon yang selalu ia santap. Namun, ia segera teringat pelajaran Geografi saat ia duduk di bangku Kelas X SMA dulu.
Dari puncak bukit itu, ia juga bisa melihat deretan bangunan baru yang berada di bibir pantai. Berjajar elok seakan mengucapkan selamat datang bagi siapa saja yang datang ke sana. Riuh rendah bocah-bocah bermain di tanah lapang yang beralaskan pasir pantai juga terdengar samar-samar. Nun jauh di sana, terlihat pula beberapa anak seusia mereka yang sedang mempersiapkan perkemahan. Menyalakan api unggun meski petang belum menjelang. Ah, rasanya ia teringat kegiatan Pramuka dulu. Mungkin suatu kali ia bisa melakukan itu.
Seperti, yang dilakukan pantai ini. Mengubah wajah pesimisme keterisolasian akibat buruknya sarana. Memanggil banyak orang untuk datang kepadanya dan menikmati suasana sekitarnya. Mengajarkan orang untuk menjaga kebersihannya seraya berujar, "Lihatlah keindahanku!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H