Koleksi museum ini semakin lengkap dengan aneka koleksi lainnya seperti radio tua, aneka alat kesehatan, alat transportasi, hingga peralatan memasak yang sering digunakan oleh masyarakat Surabaya pada zaman dahulu.
![Dua walikota Surabaya dari PKI. Setelah kemenangan mutlak partai ini di Kota Surabaya pada Pemilu 1955 dan Pemilu Daerah 1957, selama kurun 1958 hingga 1965, PKI menjadi penguasa di kota ini. | Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/04/14/walikota-surabaya-pki-jpg-5ad1f3facaf7db6fe85fa8e2.jpg?t=o&v=555)
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/04/14/gombloh-jpg-5ad1f47616835f28be49a834.jpg?t=o&v=555)
![Perlatan dapur yang sering digunakan orang Surabaya zaman dulu | Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/04/14/pawon-simbok-jpg-5ad1f4afcf01b4738e4faf73.jpg?t=o&v=555)
Bagi sejarah Kota Surabaya, kisah penutupan lokalisasi maha besar ini adalah peritiwa penting meski masih ada praktik-praktik prostitusi terselubung yang mengiringinya. Lokalisasi yang bisa dikatakan sebagai aib bagi kota ini akhirnya tutup pada pertengahan 2014 lalu.
![Lukisan tentang penolakan penutupan Gang Dolly | Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/04/14/img-0667-tile-5ad1f50bbde5756fdb2bd9b2.jpg?t=o&v=555)
Saya menemukan sebuah pesan tersirat dari kalimat "Pi'i de Poeng". Kalimat ini bisa diartikan dengan "I Don't care" dan "sebodo teuing" yang biasanya diucapkan orang-orang dari kawasan Arek ketika harus sering berhadapan dengan sesuatu yang disebut "basa-basi" dan "pencitraan".Â
Apapun perkataan orang, yang penting aku sudah berusaha berbuat baik dan berusaha semaksimal mungkin dengan pembawaan yang sudah ada. Pesan ini pula yang coba dihadirkan dalam lukisan lokalisasi gang Dolly yang menyiratkan sejelek apapun stigma bagi mereka dan juga Kota Surabaya yang pasti "the show must go on". Kehidupan harus berjalan terus.Â
Sungguh, saya salut dengan pesan ini yang sayangnya tak banyak orang yang mau melirik lukisan tersebut.
![Ketika ada stigma buruk tentang diri kita, segera introspeksi. Perbaiki dan berusaha untuk lebih baik lagi dan tak terus berpikir tentang omongan tersebut | Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/04/14/hotel-oranye-jpg-5ad1f585cbe523516454c132.jpg?t=o&v=555)
Bukan pembangunannya yang membuat saya ternganga, namun upaya Bu Risma dan segenap warga Surabaya untuk tetap menjaga kebersihan tempat ini. Tentu, pembangunan mental jauh lebih sulit dibandingkan dengan pembangunan fisik. Selepas memberikan suntikan moral dari filosofi "Pi'i de Poeng", segenap pemerintah Kota Surabaya dan warga mulai menyalurkan semangat tersebut dalam tindakan nyata.Â
Bukan penjelasan kata-kata untuk membuat sebuah pencitraan hebat sehingga stigma negatif tersebut hilang namun hanya tindakan nyatalah yang bisa menjawab stigma buruk tersebut. Artinya, warga Surabaya mulai belajar ketika ada omongan negatif atau hal buruk datang kepada mereka, bukan ucapan atau klarifikasi yang harus dilakukan.Â
Tindakan nyata, prestasi, dan dedikasi yang sungguh-sungguh yang akan membuktikan bahwa stigma negatif itu tidaklah benar. Jalan Tunjungan, Siola dengan UPTSA-nya, dan cerita Gang Dolly adalah sebuah pencapaian dari filosofi tersebut.