Kala itu, Mbok Satiah masih berusia delapan tahun. Suatu hari, ada orang Malang yang bernasib malang ditangkap oleh tentara Jepang. Ia tak tahu apa penyebab penangkapan tersebut. Yang jelas, orang itu dipukuli dan diseret ke alun-alun. Di pojok selatan barat, yang dekat dengan Kantor Pos Besar Malang, beberapa tentara Jepang menggali lubang sedalam leher.
Selepas lubang selesai digali, tentara itu lalu memasukkan orang tersebut dan mengurugnya sampai sebatas leher. Persis seperti hukum rajam pada cerita nabi-nabi. Ih seram. Saya sesekali ketika datang ke alun-alun mencoba mencari bekas lubang itu. Ya jelas sudah tak ada. Tinggal beberapa lubang untuk saluran air PDAM dan biopori.Â
Penjajah Jepang juga terkenal kejam dalam memaksakan kehendaknya untuk melaksanakan kepercayaannya. Mungkin cerita ini juga menjadi cerita klasik pelajaran sejarah di sekolah dulu.
Penjajah Jepang sering memaksa penduduk untuk melakukan seikere, sebuah sikap membungkuk ke arah matahari sebagai penghormatan kepada ametarasu omikami (). Meski alun-alun dikelilingi oleh dua tempat peribadatan besar di sisi barat, namun simbol keagamaan tersebut tak mampu "menolong" umatnya yang sedang disiksa Bala Tentara Jepang.
Kisah kekejaman Jepang juga terangkai dalam kisah seorang haji yang mengalami penyiksaan di pojok tenggara alun-alun, yang kini dekat dengan Mitra 1 dan Pantai Photo. Saat itu, dari arah utara Jalan Aloen-Aloen Wetan (sekarang Jalan Merdeka Timur), terlihat seorang haji sedang berpakaian baju takwa mengayuh sepeda ke arah selatan. Di sepeda sang haji terpasang dua bendera, merah putih dan Hinomaru.
Di tepi alun-alun, berdiri seorang serdadu Jepang yang melihat pengendara sepeda membawa dua bendera. Maka, ia menghentikannya. Lalu, ia mencabut bendera merah-putih dan merobeknya. Menurut tentara itu, susunan warna benderanya salah. Yang ia tahu, warna merah dan putih seperti bendera Hinomaru. Padahal waktu itu, Jepang sudah mengizinkan penggunaan bendera merah-putih yang dapat disandingkan dengan bendera Jepang.Melihat bendera merah-putih disobek, maka Pak Haji juga ikut menyobek bendera satunya dan berpikir ia akan selamat.
Namun, melihat bendera kebanggannya ikut disobek, tentara itu tanpa ampun menghajar Pak Haji dengan popor senapannya. Ia baru pergi setelah puas dan meninggalkan Pak Haji yang masih bingung sambil memegang kepalanya yang kesakitan. Entah bagaimana kebenaran kisah yang tertuang dalam buku Indonesia dalem Api dan Bara ini. Â Selain kisah horor, Alun-alun Malang juga digunakan sebagai sarana untuk mengetahui siapa lawan dan kawan Jepang.
Maka, banyak acara orasi yang dilakukan penduduk di Alun-alun untuk sekedar memuja Jepang yang dianggap sebagai saudara tua dan menyelamatkan mereka dari Belanda. Padahal, pada saat itu Jepang juga tak main-main kejamnya.
Cerita orasi ini lebih banyak cerita rasis berupa caci maki kepada para penduduk keturunan Belanda (Indo) yang dianggap pengkhianat bangsa meski ia lahir di Indonesia. Usaha ini tak lain agar sang pencaci maki tersebut tetap dalam naungan tentara Jepang dan tak mendapat masalah selama pendudukan mereka. Sungguh, kisah yang mengharukan sekali.
Sumber :
Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Boedoeri, Tjamboek. 2004. Â Indonesia dalam Api dan Bara. Jakarta : Elkasa