Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Empat Gaya Bangunan Denyut Nadi Kota Bawah Surabaya

28 Januari 2018   17:15 Diperbarui: 28 Januari 2018   23:23 2111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penuh coretan | Gambar : Dokumen Pribadi.

Mengenang susah hati patah
ingat jaman berpisah
Kekasih pergi sehingga kini
belum kembali

Saya mendendangkan lagu ini ketika kaki saya menyusuri jalan setapak di Jembatan Merah. Rekan-rekan yang baru dari kondangan meminta berhenti sejenak di Taman Sejarah yang terletak tak jauh dari sana. Saya tak tertarik dan memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di Jalan Rajawali. Sebuah jalan di sisi barat Jembatan Merah.

Sayang rasanya sudah jauh-jauh ke Surabaya kalau tak mampir dan menikmati keindahan arsitektur di pusat kota lama Surabaya yang lebih dikenal dengan kawasan Surabaya Bawah. Kawasan ini merupakan kawasan pusat peradaban pertama Kota Surabaya untuk menjadi kota modern yang maju.

Jejak sejarah Kota Bawah Surabaya mulai berkembang sejak akhir abad ke-19. Lokasinya berada di kawasan Kembang Jepun, Ampel, dan Jalan Rajawali/Veteran. Kehadiran berbagai bangunan yang didirikan dalam periode berbeda, antara tahun 1870 sampai 1940-an membuat pusat kota lama ini memiliki karakter yang khas.

Pemukiman di Jalan Dukuh, sisi timur Jembatan Merah yang diperuntukkan bagi orang Tionghoa, Arab, dan Pribumi. Tampak samar-samar Klenteng Hong Tik Hian. | Gambar : Dokumen Pribadi.
Pemukiman di Jalan Dukuh, sisi timur Jembatan Merah yang diperuntukkan bagi orang Tionghoa, Arab, dan Pribumi. Tampak samar-samar Klenteng Hong Tik Hian. | Gambar : Dokumen Pribadi.
Dimulai pada 11 November 1743, sebuah perjanjian antara Gubernur Jendral Belanda van Imhoff dengan Raja Mataram Pakubuwono II ditandatangani. Perjanjian ini berisi penyerahan penuh kedaulatan daerah Surabaya dari Mataram. Akibat perjanjian ini, VOC mendapat keleluasaan penuh untuk membangun Surabaya.

Kesempatan ini tidak disia-siakan Belanda untuk membangun berbagai bangunan yang mendukung kegiatannya. Pada awalnya, sebuah tembok kota dan kanal yang mengelilingi pusat kota di kawasan tersebut dibangun terlebih dahulu.

Selanjutnya, pembangunan kawasan ini diatur dalam undang-undang Wijkenstelsel tahun 1843. Pembangunan kota dibagi atas beberapa bagian yang dibatasi oleh Jembatan Merah. Bagian sisi timur Jembatan Merah diperuntukkan untuk masyarakat Tionghoa dan Arab, serta pribumi yang tersebar merata.

Jalan Rajawali dengan bangunan yang menjulang | Gambar : Dokumen Pribadi.
Jalan Rajawali dengan bangunan yang menjulang | Gambar : Dokumen Pribadi.
Maka, saat ini kita mengenal daerah Kembang Jepun yang merupakan kawasan Pecinan Surabaya dan kawasan Ampel yang merupakan kawasan Kampung Arab. Tentunya, termasuk pula beberapa kampung masyarakat pribumi di gang-gang sempit yang saya datangi untuk acara kondangan.

Nah, bagian barat dari Jembatan Merah ini dikhususkan bagi permukiman orang Eropa, diantaranya kantor dagang dan pemerintahan Belanda.

Perkantoran ini umumnya dibangun antara tahun 1870-an hingga 1930-an. Terletak di sisi kanan dan kiri jalan, pola perkantoran ini mengikuti pola penataan kota di Belanda. Tak heran, banyak bangunan dengan arsitektur Belanda memenuhi Jalan Rajawali, yang berada di bagian barat Jembatan Merah.

Yang unik, secara garis besar, bentuk bangunan di kawasan tersebut terbagi menjadi 4 macam gaya. Pembagian tersebut berdasarkan periode pembangunannya. Empat periode tersebut antara lain Indische Empire Style, Khas Belanda, Ekletisisme, dan De Amsterdam School.

Gedung Grahadi, dengan gaya Empire | Gambar : Dokumen Pribadi.
Gedung Grahadi, dengan gaya Empire | Gambar : Dokumen Pribadi.
Gaya Indische Empire Style sudah tak ditemukan lagi di Jalan Rajawali ini karena inti gaya ini adalah adanya halaman yang luas. Gedung Balaikota lama yang disebut-sebut berada di jalan ini mengikuti gaya arsitek klasik tersebut.

Sayang, gedung bekas balaikota lama ini sudah sirna, tak berbekas. Hanya sebuah rumah yang berada di Jalan Sikatan, yang terletak beberapa ratus meter di sebelah selatan Jalan Rajawali masih menggunakan gaya Empire ini. Berhubung panas terik  menyerang, saya tak mampu untuk sekedar berjalan di jalan itu.

Contoh bangunan di Surabaya yang memiliki gaya ini adalah Gedung Negara Grahadi, pusat pemeritahan Provinsi Jawa Timur. Gedung ini memiliki beranda dengan proporsi klasik yang berakar pada arsitektur Jawa.

Teras dibangun sedemikian rupa menyesuaikan kondisi iklim Surabaya yang panas. Gedung dan bangunan gaya ini biasanya dibangun pada periode antara tahun 1870 hingga 1900.

Kantor BNI 46 | Gambar : Dokumen Pribadi.
Kantor BNI 46 | Gambar : Dokumen Pribadi.
Perkembangan ekonomi pada awal abad ke-20 yang semakin maju akibat dampak revolusi industri membuat pembangunan berbagai macam usaha terus dilakukan.

Termasuk, di kawasan Jalan Rajawali ini. Pabrik, bank, kantor asuransi, rumah sakit, hingga sekolah pun didirikan. Pembangunan bangunan-bangunan tersebut juga turut dimotori oleh arsitek profesional lulusan Belanda. Diantaranya adalah M. J. Hulswit, Ed Cuypers, dan Prof. W. Lemei. 

Tangan-tangan arsitek itu memberi pengaruh bangunan Gaya Belanda di Jalan Rajawali. Penggunaan gavel, dormer (jendela di atap), dan menara yang menyatu pada gedung berbentuk segi empat dan ramping dengan atap lancip pendek menjadi ciri khasnya.

Kacapem Bank Jatim Rajawali. Perhatikan jendela di bagian atapnya. Ciri Khas Gaya Belanda, | Gambar : Dokumen Pribadi.
Kacapem Bank Jatim Rajawali. Perhatikan jendela di bagian atapnya. Ciri Khas Gaya Belanda, | Gambar : Dokumen Pribadi.
Contoh bangunan Gaya Belanda di Jalan Rajawali ini cukup banyak. Diantaranya adalah kantor PTPN X dan Kantor Bank Mandiri. Contoh lain dari gaya ini adalah bangunan Bank Jatim dan SMP Negeri 5 Surabaya. Gedung dan bangunan Gaya Belanda ini dibangun antara tahun 1900 hingga 1910.

Perkembangan selanjutnya, pada kurun waktu tahun 1910 hingga 1925, banyak gedung yang dirancang dengan gaya eklektisisme. Gaya bangunanini berupa bangunan satu lantai yang memiliki menara ringan dan lubang ventilasi. Yang khas dari bangunan ini adalah penggunaan elemen-elemen berbagai gaya secara bebas. Artinya, ada penggabungan antara unsur klasik dan modern.

Contoh dari gaya bangunan ini adalah sebuah gedung ekspedisi, bekas gedung PPN di sebelah timur BRI yang memiliki ukiran  khas jawa di bagian kanopinya.

Ukiran khas jawa di kanopi. | Gambar : Dokumen Pribadi.
Ukiran khas jawa di kanopi. | Gambar : Dokumen Pribadi.
Gaya terakhir adalah Gaya De Amsterdam School. Gaya ini memiliki kekuatan garis-garis horizontal yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak tegas bersatu dengan elemen vertikal. Artinya, penataan pintu dan jendela dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk sudut siku-siku yang hampir sempurna.

Penggunaan gaya ini banyak dipakai pada akhir masa pendudukan Belanda, yakni antara tahun 1925 hingga kedatangan Jepang tahun 1942. Contoh dari bangunan ini adalah kantor PTPN XII yang berada di bagian utara Jalan Rajawali.

Gedung PTPN XII (sebelah kiri) dengan sudut siku-siku pada jendela dan pintu yang paripurna | Gambar : Dokumen Pribadi.
Gedung PTPN XII (sebelah kiri) dengan sudut siku-siku pada jendela dan pintu yang paripurna | Gambar : Dokumen Pribadi.
Sayang, karakter khas bangunan di Jalan Rajawali yang merupakan pusat kota bawah Surabaya harus berkonflik dengan pembangunan gedung baru. Ledakan properti di tahun 1990 membuat banyak bangunan yang berganti dengan bangunan modern. Bank BRI adalah contohnya.
Kusam | Gambar : Dokumen Pribadi.
Kusam | Gambar : Dokumen Pribadi.
Tak terawat | Gambar : Dokumen Pribadi.
Tak terawat | Gambar : Dokumen Pribadi.
Tak hanya itu, perawatan bangunan tua di Jalan Rajawali juga belum maksimal, tak  seperti di Jalan Tunjungan yang sudah mengalami restorasi.

Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, keberadaan kawasan ini lebih dahulu ada sebelum perkembangan berlanjut ke Jalan Tunjungan yang lebih dikenal sebagai  kota atas.

Penuh coretan | Gambar : Dokumen Pribadi.
Penuh coretan | Gambar : Dokumen Pribadi.
Jika tak mampu mengimbangi arus zaman, akan seperti kamera film yang termakan zaman | Gambar : Dokumen Pribadi.
Jika tak mampu mengimbangi arus zaman, akan seperti kamera film yang termakan zaman | Gambar : Dokumen Pribadi.
Memang, gedung-gedung kuno di sisi barat Jembatan Merah ini sangat megah. Tapi, apakah kemegahannya akan tetap eksis atau akan berganti kemegahan gedung baru? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Sumber:

  • Luar jaringan: Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
    Colombijen, F, dkk. 2005. Kota Lama, Kota Baru. Sejarah Kota-kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan. Yogyakarta : Perbit Ombak.
    Dalam jaringan
    (1)(2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun