Teras dibangun sedemikian rupa menyesuaikan kondisi iklim Surabaya yang panas. Gedung dan bangunan gaya ini biasanya dibangun pada periode antara tahun 1870 hingga 1900.
Termasuk, di kawasan Jalan Rajawali ini. Pabrik, bank, kantor asuransi, rumah sakit, hingga sekolah pun didirikan. Pembangunan bangunan-bangunan tersebut juga turut dimotori oleh arsitek profesional lulusan Belanda. Diantaranya adalah M. J. Hulswit, Ed Cuypers, dan Prof. W. Lemei.Â
Tangan-tangan arsitek itu memberi pengaruh bangunan Gaya Belanda di Jalan Rajawali. Penggunaan gavel, dormer (jendela di atap), dan menara yang menyatu pada gedung berbentuk segi empat dan ramping dengan atap lancip pendek menjadi ciri khasnya.
Perkembangan selanjutnya, pada kurun waktu tahun 1910 hingga 1925, banyak gedung yang dirancang dengan gaya eklektisisme. Gaya bangunanini berupa bangunan satu lantai yang memiliki menara ringan dan lubang ventilasi. Yang khas dari bangunan ini adalah penggunaan elemen-elemen berbagai gaya secara bebas. Artinya, ada penggabungan antara unsur klasik dan modern.
Contoh dari gaya bangunan ini adalah sebuah gedung ekspedisi, bekas gedung PPN di sebelah timur BRI yang memiliki ukiran  khas jawa di bagian kanopinya.
Penggunaan gaya ini banyak dipakai pada akhir masa pendudukan Belanda, yakni antara tahun 1925 hingga kedatangan Jepang tahun 1942. Contoh dari bangunan ini adalah kantor PTPN XII yang berada di bagian utara Jalan Rajawali.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, keberadaan kawasan ini lebih dahulu ada sebelum perkembangan berlanjut ke Jalan Tunjungan yang lebih dikenal sebagai  kota atas.
Sumber:
- Luar jaringan: Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Colombijen, F, dkk. 2005. Kota Lama, Kota Baru. Sejarah Kota-kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan. Yogyakarta : Perbit Ombak.
Dalam jaringan
(1)(2)