Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polowijen, Desa Subur Kelahiran Ken Dedes

24 Januari 2018   08:43 Diperbarui: 24 Januari 2018   09:16 2001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karakter topeng pada tiang Flyover Arjosari

Bukan gambar sang walikota. Bukan pula gambar Tengku Wisnu dan Strudelnya. Apalagi, bukan pula gambar saya.

Namun, sesosok pahatan wanita cantik akan menyambut kita tatkala  memasuki salah satu kota yang kini sedang meroket dunia pariwisatanya.  Kota bernama Malang ini akan menyambut orang-orang yang mengunjunginya  dengan sesosok wanita cantik. Lebih cantik dari Raisya ataupun Isyana.  Dia adalah sosok yang bisa disebut sebagai "ibu" bagi masyarakat Malang.  Sosok yang begitu dikagumi karena telah melahirkan generasi penguasa  sejarah. Tak hanya di Malang, namun juga di nusantara. Ia adalah Ken  Dedes, sang Ratu Singosari yang melegenda itu.

Pemilihan Ken Dedes sebagai sosok pembuka pintu gerbang Kota Malang dari  arah utara bukanlah kebetulan semata. Jejaknya sudah diketahui banyak  orang bahwa ia adalah istri dari Tunggul Ametung, akuwu kerajaan kecil  bernama Tumapel dan kemudian direbut dan dipersunting oleh Ken Arok,  sosok "penjahat" yang  ternyata dipuja banyak warga Malang sebagai  "pahlawan". Namun, banyak yang belum tahu, tak jauh dari patung Ken  Dedes yang seakan memberi ucapan selamat datang di Kota Malang ini, ia  benar-benar terekam jejak sejarahnya. Sang Putri Jelita Singosari itu lahir dan besar di sebuah tempat bernama  Polowijen. Saat ini, Polowijen merupakan salah satu kelurahan di ujung  utara Kota Malang. Persisnya, di sebelah barat fly over Arjosari yang kini sudah tampak indah dengan cat warna-warninya.

Keindahan Fly Over Arjosari didampingi Sekolah Adiwiyata, SDN Polowijen I di bawahnya
Keindahan Fly Over Arjosari didampingi Sekolah Adiwiyata, SDN Polowijen I di bawahnya
Alkisah, pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah daerah yang sangat  subur bernama Panawijyan. Sekitar abad ke-10 Masehi, desa ini tercatat  sebagai sebuah desa yang sangat subur dengan potensi sumber daya  alamnya. Sesuai dengan isi Prasasti Kanyuruhan B (bertarikh saka  865/ 945 M) yang dikeluarkan oleh Mpu Sendok, Panawijyan adalah daerah  subur dengan banyak bangunan suci. Bangunan suci tersebut menurut ahli  sejarah dan arkeologi diperuntukkan untuk sang Hyang Kagotranatau sang Hyang Kaswangga.  Sayang, hingga kini belum jelas mengenai keberadaan dan detail lengkap bangunan suci tersebut.

Perkampungan di Kelurahan Polowijen dengan latar Gunung Arjuna
Perkampungan di Kelurahan Polowijen dengan latar Gunung Arjuna
Tak hanya bangunan suci, di dalam Prasasti Kanyuruhan B juga disebutkan  pembagian sima sawah yang ada di Panawijyan. Namun, yang cukup menarik  perhatian adalah tempat ini pernah dijadikan semacam pusat pembelajaran  yang disebut sebagai "mandalakadewagurwan". Artinya, sebenarnya  Polowijen sudah menjadi sebuah peradaban yang cukup besar pada saat  perpindahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Lagi-lagi,  belum jelas agama apa yang dipelajari di dalam tempat pembelajaran  tersebut : Hindu ataukah Buddha?

Batu Kenong yang ditemukan di Polowijen. Batu semacam ini juga ditemukan di Ketawanggede dan Tlogomas. Ada semacam pantangan bagi warga kedua desa tersebut untuk melakukan ikatan pernikahan. Entah apa yang mendasarinya, yang jelas cukup paralel dengan penemuan batu tersebut.
Batu Kenong yang ditemukan di Polowijen. Batu semacam ini juga ditemukan di Ketawanggede dan Tlogomas. Ada semacam pantangan bagi warga kedua desa tersebut untuk melakukan ikatan pernikahan. Entah apa yang mendasarinya, yang jelas cukup paralel dengan penemuan batu tersebut.
Ada sebuah informasi dari warga sekitar bahwa pernah terdapat  peninggalan yang cukup banyak berupa arca-arca batu berlatar agama  Hindu. Sayang, untuk kesekian kali, jejak arca-arca tersebut tidak ada  sehingga tak diketahui masa dari arca-arca tersebut. Namun, bila  berkenaan dengan parahyangan atau guru bhakti yang disebut dalam sima  sawah tadi, maka arca tersebut merupakan bagian dari bangunan suci  berlatar agama Hindu.

Sejak dulu Polowijen sudah menjadi daerah penting. Hingga kini, daerah ini menjadi pintu gerbang Kota Malang dari arah utara. Tampak Jalan A. Yani Utara, penghubung Malang-Surabaya yang tak pernah sepi.
Sejak dulu Polowijen sudah menjadi daerah penting. Hingga kini, daerah ini menjadi pintu gerbang Kota Malang dari arah utara. Tampak Jalan A. Yani Utara, penghubung Malang-Surabaya yang tak pernah sepi.
Dugaan ini memberi dasar bahwa di Panawijen/Panawijyan sempat terjadi  perpindahan pada keyakinan warga dari Hindu menjadi Buddha. Hal ini  sesuai dengan informasi yang tercantum dalam Kitab Pararaton. Konon,  dikisahkan bahwa di sana telah tinggal sebuah komunitas Mahayana  Buddhisme yang dipimpin oleh Mpu Purwa.

Nah, Mpu Purwa inilah yang merupakan ayah dari Ken Dedes. Ia disebut sebagai seorang boddhastapaka yang berarti pendiri patung, pemimpin upacara agama, dan pemimpin  penjaga candi yang kini belum diketahui keberadaanya. Maka, peran Mpu  Purwa di masyarakat sangatlah besar dan dihormati.

Kisah Mpu Purwa dengan anaknya bernama Ken Dedes ini terkutip petikan paro pertama Pararaton yang berbunyi :

"Kemudian adalah seorang bhujangga pemeluk agama Buddha (bhujangga  boddhastapaka), menganut aliran Mahayana, bertugas di ksatrenya orang  Panawijen, bernama Pu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan  tunggal, pada waktu itu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak  perempuan itu luar biasa cantik molek bernama Ken Dedes. Dikabarkan  bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya. Termasyhur di sebelah  timur Gunung Kawi sampai Tumapel."

Dari petikan Pararaton tersebut, tanpa diviralkan di Instagram, Ken  Dedes sudah terkenal akan kecantikannya. Tanpa dihebohkan dengan vlog di  Youtube, Ken Dedes sudah eksis dan menjadi primadona seantero bagian  timur Pulau Jawa. Laki-laki mana yang tak kepincut dengan Ken Dedes.  Cantik, baik tingkah lakunya, anak pembesar pula. Laki-laki mana juga  yang tak kuasa melihat seorang bidadari yang begitu anggun.

Dan akhirnya, memori yang lebih mengerikan dari patah hati nasional  sejatinya sudah terjadi di abad ke-13. Suatu hari, seorang akuwu Tumapel  bernama Tunggul Ametung singgah di rumah Ken Dedes untuk menemui sang  ayah dan bermaksud meminangnya. Saat itu, Mpu Purwa sedang pergi ke  hutan. Oleh Ken Dedes, sang akuwu disuruh menunggu hingga ayahnya tiba.  Sayang, Tunggul Ametung tak tahan melihat kecantikan Ken Dedes. Ia  lantas membawa pulang paksa Ken Dedes untuk dinikahi.

Diorama pelarian Ken Dedes oleh Tunggul Ametung di salah satu bagian Museum Mpu Purwa
Diorama pelarian Ken Dedes oleh Tunggul Ametung di salah satu bagian Museum Mpu Purwa
Mengetahui putri tunggalnya dibawa lari, Mpu Purwa sangat marah. Ayah  mana yang tak kuasa putri tercintanya begitu saja dibawa orang. Ia juga  tak habis pikir, mengapa orang-orang di desanya tak bisa mencegah  tindakan Tunggul Ametung. Akhirnya ia mengutuk sang pria yang lancang  membawa putrinya beserta penduduk Desa Panawijen yang mendiamkannya.  Kutukan itu berbunyi :
"Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan,  semoga ia ditusuk dan diambil istrinya. Demikian pula orang-orang di  Panawijen ini. Moga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga  tak keluar air kolamnya ini (beji). Dosanya : mereka tak mau memberi  tahu bahwa anakku dilarikan dengan paksaan."

Diorama yang mengisahkan Mpu Purwa mengutuk masayarakat Polowijen yang tak akan lagi memiliki sumber air berlimpah akibat ulah mereka yang membiarkan kezaliman terjadi.
Diorama yang mengisahkan Mpu Purwa mengutuk masayarakat Polowijen yang tak akan lagi memiliki sumber air berlimpah akibat ulah mereka yang membiarkan kezaliman terjadi.
Kutukan-kutukan tersebut akhirnya terbukti. Kutukan pertama dibuktikan  dengan terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Ken Arok yang menggunakan keris  Mpu Gandring (walau kisah ini masih mengandung kontroversi). Kisah acara  bunuh-bunuhan ini berlangsung hingga beberapa keturunan. Kutukan kedua,  meski belum ada sumber yang mengatakan sumber air di desa tersebut  kering, namun ada sebuah mitos menegnai larangan mengambil barang apa  saja di Kali Mewek. Kali yang berarti tangisan Ken Dedes saat dibawa  lari Tunggul Ametung ini berada di bagian barat Polowijen dan hingga  kini masih dipercaya akan kekeramatannya secara turun-temurun. Kali  tersebut masih dianggap angker oleh penduduk sekitar.

Karakter topeng pada tiang Flyover Arjosari
Karakter topeng pada tiang Flyover Arjosari
Meski mendapat kutukan, Panawijen masih menyimpan peninggalan lain  berupa sendang (sumber air) bernama Sendang Dedes. Tak hanya itu,  beberapa kali warga juga menemukan saluran bawah tanah dari Sendang  Dedes menuju persawahan di lembah Kali Mewek. Konon, saluran ini  digunakan untuk pengairan sawah yang disebut dengan suwak.

Tak hanya berupa cerita asal Ken Dedes, Polowijen juga menjadi tanah  kelahiran Tari Topeng Malangan yang melegenda. Di Polowijen terdapat  makam Mbah Reni, seorang maestro Tari Topeng Malang dan anaknya yang  bernama Mbok Bundari. Maka dari itu, Polowijen telah ditetapkan oleh  Pemerintah Kota Malang  sebagai Kampung Budaya sejak 2 April 2017 kemarin. Fly over Arjosari  yang memagari Polowijen di sisi timur kini telah berbalut aneka gambar  topeng yang memiliki karakter khas masing-masing.

Jangan tanya sawah, kini Polowijen sudah penuh dengan rumah
Jangan tanya sawah, kini Polowijen sudah penuh dengan rumah
Polowijen pun berkembang menjadi gerbang kemajuan Kota Malang. Sayang,  konflik perebutan kecantikan Polowijen masih berlangsung hingga kini. Bukan perebutan kecentikan Ken Dedes ataupun kesuburan daerahnya karena  daerah ini sudah menjadi pemukiman dan kawasan ekonomi yang strategis.  Konflik antara transportasi konvensional dan transportasi online-lah  yang menjadi akar konflik di sekitar Polowijen ini meski warganya  baik-baik saja. Konflik itu terus berlangsung memperebutkan ribuan  penumpang yang masuk ke Kota Malang.

Sekian. Itulah sedikit kisah Polowijen, desa subur tempat lahirnya Ken Dedes. Pembuka gerbang Kota Malang.


Gambar : Dokumen Pribadi.
Sumber :
Luar jaringan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang : Disbupar Kota Malang.Padmapuspita, J. 1966, Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.
Dalam jaringan
(1)(2) (3)(4)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun