Diorama pelarian Ken Dedes oleh Tunggul Ametung di salah satu bagian Museum Mpu Purwa
Mengetahui putri tunggalnya dibawa lari, Mpu Purwa sangat marah. Ayah  mana yang tak kuasa putri tercintanya begitu saja dibawa orang. Ia juga  tak habis pikir, mengapa orang-orang di desanya tak bisa mencegah  tindakan Tunggul Ametung. Akhirnya ia mengutuk sang pria yang lancang  membawa putrinya beserta penduduk Desa Panawijen yang mendiamkannya.  Kutukan itu berbunyi :
"Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan,  semoga ia ditusuk dan diambil istrinya. Demikian pula orang-orang di  Panawijen ini. Moga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga  tak keluar air kolamnya ini (beji). Dosanya : mereka tak mau memberi  tahu bahwa anakku dilarikan dengan paksaan."
Diorama yang mengisahkan Mpu Purwa mengutuk masayarakat Polowijen yang tak akan lagi memiliki sumber air berlimpah akibat ulah mereka yang membiarkan kezaliman terjadi.
Kutukan-kutukan tersebut akhirnya terbukti. Kutukan pertama dibuktikan  dengan terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Ken Arok yang menggunakan keris  Mpu Gandring (walau kisah ini masih mengandung kontroversi). Kisah acara  bunuh-bunuhan ini berlangsung hingga beberapa keturunan. Kutukan kedua,  meski belum ada sumber yang mengatakan sumber air di desa tersebut  kering, namun ada sebuah mitos menegnai larangan mengambil barang apa  saja di Kali Mewek. Kali yang berarti tangisan Ken Dedes saat dibawa  lari Tunggul Ametung ini berada di bagian barat Polowijen dan hingga  kini masih dipercaya akan kekeramatannya secara turun-temurun. Kali  tersebut masih dianggap angker oleh penduduk sekitar.
Karakter topeng pada tiang Flyover Arjosari
Meski mendapat kutukan, Panawijen masih menyimpan peninggalan lain  berupa sendang (sumber air) bernama Sendang Dedes. Tak hanya itu,  beberapa kali warga juga menemukan saluran bawah tanah dari Sendang  Dedes menuju persawahan di lembah Kali Mewek. Konon, saluran ini  digunakan untuk pengairan sawah yang disebut dengan suwak.
Tak hanya berupa cerita asal Ken Dedes, Polowijen juga menjadi tanah  kelahiran Tari Topeng Malangan yang melegenda. Di Polowijen terdapat  makam Mbah Reni, seorang maestro Tari Topeng Malang dan anaknya yang  bernama Mbok Bundari. Maka dari itu, Polowijen telah ditetapkan oleh  Pemerintah Kota Malang  sebagai Kampung Budaya sejak 2 April 2017 kemarin. Fly over Arjosari  yang memagari Polowijen di sisi timur kini telah berbalut aneka gambar  topeng yang memiliki karakter khas masing-masing.
Jangan tanya sawah, kini Polowijen sudah penuh dengan rumah
Polowijen pun berkembang menjadi gerbang kemajuan Kota Malang. Sayang,  konflik perebutan kecantikan Polowijen masih berlangsung hingga kini. Bukan perebutan kecentikan Ken Dedes ataupun kesuburan daerahnya karena  daerah ini sudah menjadi pemukiman dan kawasan ekonomi yang strategis.  Konflik antara transportasi konvensional dan transportasi online-lah  yang menjadi akar konflik di sekitar Polowijen ini meski warganya  baik-baik saja. Konflik itu terus berlangsung memperebutkan ribuan  penumpang yang masuk ke Kota Malang.
Sekian. Itulah sedikit kisah Polowijen, desa subur tempat lahirnya Ken Dedes. Pembuka gerbang Kota Malang.
Gambar : Dokumen Pribadi.
Sumber :
Luar jaringan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang : Disbupar Kota Malang.Padmapuspita, J. 1966, Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.
Dalam jaringan
(1)(2)Â (3)(4)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya