"Iya. Ojok kesusu. Cerita ada apa. Ojobmu ngambek tah?" Slamet juga ikut bertanya.Â
"Waduh Cak, ini gimana?" Slamet mulai ketakutan. Ia buang cerutunya yang masih tersisa kretek separuhnya.
"Met, ayo kabur, Met!" ajak Cak Sur. Ia juga merasa takut. Ustad-ustad dari Kidul Pasar terkenal galak. Ia pernah kena hajar.
"Kabur ke mana, Cak? Aku sudah kadung nyaman di sini." Slamet bertanya balik.
"Apa kamu mau ikut modar?"Â
"Oke Cak. Kamu ada ide, Ri?"
"Kita ke sekolah di belakang rumah sakit. Di sana banyak anak-anak. Nanti cari saja anak perawan di kelas 5 atau 6 yang lagi M. Sementara ke sana dulu saja. Aman." Rifai tiba-tiba punya ide. Ia teringat istrinya yang tempo hari bisa masuk ke tubuh anak perempuan.
"Oke. Kita ke sana. Aku tak ke Mbah Sarinem dulu. Siapa tahu ada yang bisa aku konsultasikan sama beliau", kata Cak Sur.
Mereka pun pergi menghilang diiringi tiupan angin kencang yang membuat kuburan itu semakin dingin. Semenjak ditinggalkan ketiga penghuninya, pos kamling dekat kuburan itu menjadi sepi. Warga lebih memilih terus berdiam diri di rumah. Siang yang dingin menjadi tak bernada lagi. Tapi, di suatu siang ketika beberapa anak laki-laki yang berseragam SMP sedang duduk di sana untuk sekedar membolos pada jam terakhir, sebuah alunan nada mengalir dengan indahnya.
Sigra milir sang gethek si nangga bajul