Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat Guru Harus Sering Meninggalkan Kelas

19 November 2017   14:21 Diperbarui: 20 November 2017   10:30 6276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Akreditasi. Meski sudah disiapkan jauh-jauh hari namanya guru juga mengajar ya selalu kelabakan menjelang visitasi (Dokumen Pribadi)

Jika ditanya, apa duka saya saat menjadi guru di sebuah sekolah dasar negeri? Jawabannya adalah saya sering meninggalkan siswa saya di kelas. Ada banyak alasan mengapa saya harus meninggalkan anak-anak di kelas dan memberi mereka "tugas sekedarnya" sehingga akhirnya kelabakan mengejar materi di pertengahan atau akhir semester berjalan. 

Alasan pertama, sebagai pekerja laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), saya ditutut selalu siap dalam mengumpulkan aneka pelaporan, mulai BOSNAS, BOSDA, Laporan BPK/BPKAD, hingga mengisi aplikasi SIMBADA (Simpanan Modal dan Belanja Daerah). Kesiapsiagaan saya dalam pengumpulan laporan ini harus terus dilakukan bahkan ketika jam pelajaran berlangsung.

Jika anak-anak di sekolah saya yang saat itu belum melaksanakan lima hari sekolah pulang pukul 13.00, maka selama rentang waktu pelajaran, yakni pukul 07.00-13.00, saya harus berkonsentrasi dalam dua agenda sekaligus, mengajar dan mengerjakan Laporan BOS. Jika laporan telah selesai, maka saya baru bisa mengajar dengan tenang. Jika belum, maka selama saya berada di kelas, saya harus siap 86 jika ada panggilan Diknas. Ketika panggilan itu datang, maka satu kalimat untuk murid-murid saya di kelas: Tinggalkan mereka!

Alasan kedua, ada beberapa kegiatan di luar jam pelajaran yang harus saya ikuti. Kegiatan ini bisa berupa workshop, pelatihan, hingga aneka macam lomba. Lamanya kegiatan yang saya ikuti bisa hanya dalam beberapa jam, satu hari, atau bahkan seminggu seperti kegiatan Evaluasi Diri Sekolah (EDS).

Kegiatan Workshop Evaluasi Diri Sekolah (Dokumen Pribadi)
Kegiatan Workshop Evaluasi Diri Sekolah (Dokumen Pribadi)
Alasan ketiga, beberapa kali sekolah saya mengikuti even tertentu yang juga butuh kegiatan administrasi. Beberapa diantaranya adalah akreditasi, Adiwiyata, Green School Festival (GSF), dan beberapa lomba di tingkat kecamatan dan kota. Saat even-even itu berlangsung, maka secara otomatis saya juga sesekali meninggalkan anak-anak sambil mempersiapkan administrasi dan menata sekolah. Adanya ketiga alasan tersebut ditambah alasan saat saya sakit semakin menambah daftar panjang kelas saya dalam keadaan tanpa guru.  

Kegiatan diskusi yang dilakukan oleh anak-anak ketika saya bisa masuk kelas meski hanya beberapa saat (Dokumen Pribadi)
Kegiatan diskusi yang dilakukan oleh anak-anak ketika saya bisa masuk kelas meski hanya beberapa saat (Dokumen Pribadi)
Pada akhir tahun pelajaran 2016-2017, saya mencoba menghitung berapa hari anak-anak kehilangan haknya sebagai pelajar. Saya memulai dari Bulan Juli 2016 hingga Bulan Juni 2017. Mengacu pada Kalender Pendidikan Provinsi Jawa Timur Tahun Ajaran 2016-2017 yang berdasarkan Surat Kepala Disdik Jawa Timur No 188.4/1919/103.02/2016, setidaknya ada 60 hari efektif (setara dengan dua bulan) jam kosong di kelas saya harus terjadi. Berikut ini jumlah hari ketika kelas saya dalam keadaan kosong dengan berbagai alasan tertentu.
  • Pada Bulan Juli 2016, ada 2 hari efektif kelas dalam keadaan kosong yakni saat hari pertama masuk sekolah dan acara halal bi halal di kecamatan.
  • Pada Bulan Agustus 2016, ada 8 hari efektif kelas dalam keadaan kosong karena saya harus mengikuti kegiatan Pelatihan Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan persiapan visitasi Akreditasi.
  • Pada Bulan September 2016 ada 4 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena adanya persiapan visitasi Kegiatan Green School Festival (GSF), acara penyembelihan hewan kurban, dan saya sakit selama satu hari.
  • Pada Bulan Oktober 2016 ada 2 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena ada Lomba Pekan Seni Pelajar (PSP) di tingkat Kota dan Peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP).
  • Pada Bulan November 2016 ada 6 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena adanya peringatan hari pahlawan, hari guru, dan pengerjaan Laporan BOS.
  • Tidak ada hari efektif yang kosong saat Bulan Desember 2016 karena saat ini merupakan pekan Ujian Akhir Semester Gasal. Di bulan ini pula, saya harus bisa menjejalkan materi dalam 5 Tema dan 7 muatan sekaligus (Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKn, SBdP, dan PJOK), serta muatan Bahasa Jawa kepada anak-anak.  
  • Pada Bulan Januari 2017 ada 5 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena saya harus mengantar siswa yang mengikuti Olimpiade MIPA dan mengerjakan laporan BPKAD.
  • Pada Bulan Februari 2017 ada 9 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena saya harus mengerjakan Laporan BOSNAS, BOSDA, dan memperbaiki kesalahan Laporan BPK/BPKAD di Dinas Pendidikan Kota Malang.
  • Pada Bulan Maret 2017 ada 14 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena saya harus mengantar dan membimbing anak-anak yang mengikuti Lomba Bina Kreativitas Siswa di tingkat gugus, kecamatan, dan kota. Selain itu, pengerjaan Simbada yang belum rampung membuat saya juga harus meninggalkan kelas lagi untuk menuju ke Dinas Pendidikan dan BKAD Kota Malang. Pada masa ini, saya hampir lupa sampai di mana materi yang telah saya ajarkan kepada anak-anak karena fokus utama saya adalah segera menyelesaikan SIMBADA atau sekolah saya tak akan mendapat dana BOS. Di bulan ini pula saya harus mengikuti perlombaan Guru MIPA dan pelatihan mengenai penyusunan program lima hari sekolah.
  • Pada Bulan April 2017 ada 8 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena saya harus menyusun Rencana Belanja Modal untuk Tahun Anggaran 2018, mengikuti Lomba ON MIPA, dan beberapa kegiatan sekolah.
  • Pada Bulan Mei 2017 ada 2 hari efektif kelas saya dalam keadaan kosong karena saya harus izin sakit.
  • Pada Bulan Juni 2017 tidak ada hari efektif kelas saya kosong karena bertepatan dengan pelaksanaan UAS dan libur permulaan puasa.

Jumlah itu belum termasuk setengah hari efektif yang hilang karena alasan-alasan di atas. Jika anda membaca uraian saya dari awal, mungkin ada beberapa pertanyaan yang menggelitik.

Apa yang dilakukan anak-anak ketika jam kosong?

Saya meminta rekan untuk mengisi kelas saya. Meski tanpa saya minta mereka akan melakukannya, namun rekan saya juga punya murid. Rekan yang satu paralel dengan saya (sama-sama mengajar kelas 5) juga sama sibuknya dan sering meninggalkan murid-muridnya. Bahkan, beberapa kali, seluruh siswa kelas 5 tidak ada gurunya. Jika demikian, saya harus mempersiapkan soal sebanyak-banyaknya untuk dikerjakan oleh anak-anak. Kalau sudah kepepet, saya meminta mereka mengerjakan BKS satu buku penuh. Entah, kapan saya bisa membahasnya karena materi di Buku Paket Tematik belum juga rampung.

Tugas luar mengantarkan anak-anak yang mengikuti Olimpiade. Kelas kosong selama 4 jam pelajaran. (Dokumen Pribadi)
Tugas luar mengantarkan anak-anak yang mengikuti Olimpiade. Kelas kosong selama 4 jam pelajaran. (Dokumen Pribadi)
Meminta anak-anak untuk mengerjakan BKS adalah opsi terakhir saya. Mengapa? Alasannya karena kualitas soal di dalam BKS bagi saya tak terlalu baik. Sebagian soal juga tidak mengacu kepada Kompetensi Dasar dan Indikator yang seharusnya dipelajari anak-anak. Bahkan, pada suatu ketika, BKS dari Disdik telah tercemar kata (maaf) pelacur yang sempat heboh hingga ke penjuru tanah air. Kisahnya bisa anda baca di sini.

BKS juga tak memberikan dampak yang positif bagi anak-anak karena merupakan model pengajaran lama dan tak sesuai dengan K-13. Saya juga tak bisa mengekspolorasi kemampuan anak-anak sesuai empat kompetensi inti yang telah ditetapkan pemerintah (spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan).

Anak-anak juga kadang sering meninggalkan pelajaran. Gambar ketika anak-anak menunggu Walikota dalam sebuah acara (Dokumen Pribadi)
Anak-anak juga kadang sering meninggalkan pelajaran. Gambar ketika anak-anak menunggu Walikota dalam sebuah acara (Dokumen Pribadi)
Pertanyaan lain, apa dampak dari anak-anak yang sering ditinggalkan?  

Pertama, materi pelajaran tidak akan tersampaikan dengan baik. Beberapa materi yang cukup sulit tidak bisa saya ulang dengan maksimal. Saya harus berkejaran dengan waktu. Bahkan di Tema 5 yang merupakan terakhir untuk Semester Gasal, saya melahap materi dalam 1 Sub Tema yang harusnya 1 minggu menjadi 2 hari saja. Padahal, pada Sub Tema tersebut terdapat muatan matematika dengan materi cukup sulit : bilangan pangkat dua dan tiga beserta penarikan akarnya. Apakah anak-anak paham? Itu urusan nanti.

Belajar di luar sangat menyenangkan, namun jika sang guru tak punya banyak waktu sepertinya akan menjadi hal yang mewah bagi anak-anak (Dokumen Pribadi).
Belajar di luar sangat menyenangkan, namun jika sang guru tak punya banyak waktu sepertinya akan menjadi hal yang mewah bagi anak-anak (Dokumen Pribadi).
Kedua, sebagai motor Kegiatan Belajar Mengajara di kelas, maka keadaan kelas tidak akan bisa terkendali dengan baik. Apalagi, murid saya masih berada di jenjang Sekolah Dasar. Pengajaran moral yang seharusnya setiap hari saya berikan menjadi hilang. Saat saya masuk kembali, aneka laporan mengenai siswa bertengkar dan menangis sudah biasa. Belum lagi, siswa yang melaporkan temannya berkata kotor. Sikap tegas memang sangat diperlukan. Namun yang namanya anak-anak, tak mendapati gurunya selama seminggu pasti perilaku negatif mereka juga akan timbul lagi.

Ketiga, di akhir semester atau pelajaran, saya harus melakukan "toleransi" terhadap siswa yang memiliki nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Toleransi ini saya berikan karena saya yakin sebenarnya mereka bisa menguasai dengan cukup baik jika saya mengajar di kelas dengan penuh dan membimbing mereka dengan telaten. 

Namun, fakta di lapangan sebaliknya. Siswa semacam ini tak bisa saya dampingi dengan baik. Jangankan mendampingi mereka dengan cukup intensif, membahas materi pelajaran saja rasanya belum juga rampung. Toleransi ini akan berdampak pada keputusan sang anak naik atau tidak. Kalau keadaan memungkinkan, sang anak akan saya tahan dulu tetap di kelas 5. Namun, keadaan yang ada sebaliknya. Menahan mereka tetap di Kelas 5 akan berpengaruh pada jumlah anak pada tahun ajaran berikutnya. 

Dari peraturan cut offDapodik (Data Pokok Pendidikan) yang saya ketahui, saat ini, jumlah maksimal dalam satu rombel untuk SD adalah 32 siswa. Lebih dari itu, maka dana BOSNAS akan bermasalah. Jika tetap saya naikkan, maka sang anak akan kesulitan menghadapi beban palajaran di kelas 6, yang merupakan kelas terakhir. Mungkin masalah ini juga dihadapi oleh guru-guru di sekolah lain. 

Keempat, seringnya meninggalkan anak-anak di kelas banyak yang menjadikan mindsetnegatif bagi anak dan orang tua. Bagi anak, mereka akan malas mengikuti pelajaran di kelas karena tahu gurunya akan tak masuk. Semangat belajar mereka akan turun meski sang guru sedang mengikuti pelatihan bagaimana meningkatkan semangat belajar siswa selama seminggu. Sungguh keadaan yang kontradiktif. Dukungan dan kepercayaan orang tua terhadap guru yang sering meninggalkan muridnya juga akan turun, meski tak tersurat secara langsung.

Kegiatan Akreditasi. Meski sudah disiapkan jauh-jauh hari namanya guru juga mengajar ya selalu kelabakan menjelang visitasi (Dokumen Pribadi)
Kegiatan Akreditasi. Meski sudah disiapkan jauh-jauh hari namanya guru juga mengajar ya selalu kelabakan menjelang visitasi (Dokumen Pribadi)
Kelima, tentunya penilaian terhadap siswa juga berpengaruh. Satu kali ulangan yang harusnya tiap Sub Tema menjadi satu tema. Bahkan pada tahun ajaran sebelumnya, saya sampai tidak sempat memberi ulangan Tema 9 (tema terakhir) karena sudah memasuki pekan UAS. Porgram yang saya susun menjadi berantakan meski saya sering mencoba mengebut materi di awal semester. Program remedial dan pengayaan pun juga tak bisa diberikan.

Sebagai penutup, saya masih tak habis pikir apa yang ada di benak pemangku kepentingan dengan tugas yang harus diselesaikan guru saat jam pelajaran berlangsung ini. Mungkin, frekuensi saya meninggalkan kelas tak sebanding dengan guru lain yang bisa sampai berminggu-minggu meninggalkan muridnya. Apapun itu, tugas guru yang utama adalah mengajar dan mendidik siswanya. Alangkah lebih baik jika kegiatan-kegiatan semacam pelatihan diadakan saat bukan hari efektif sekolah, semisal setelah penerimaan rapor atau saat puasa.

Di masa ini, sering sekali para guru datang ke sekolah namun tak ada hal yang dilakukan. Meski guru juga butuh liburan, pekan panjang natal dan lebaran rasanya sudah cukup.  Terakhir, seyogyanya ada perhatian juga kepada staf Tata Usaha (TU), terutama di Sekolah Dasar yang belum mendapat perhatian yang cukup. Tugas mereka juga tak kalah banyak. Yang menjadi miris, sering terjadi gonta-ganti TU dengan banyak alasan, salah satunya adalah alasan kesejahteraan. Kejadian ini juga menjadikan tugas TU akan dilimpahkan pula kepada guru.

Lihat! Pak Guru tak akan masuk kelas! kata sang anak (Dokumen Pribadi)
Lihat! Pak Guru tak akan masuk kelas! kata sang anak (Dokumen Pribadi)
Semoga tulisan remeh temeh ini bisa sedikit memahami bagaimana benang kusut pendidikan di negeri ini. Apa yang saya paparkan ya memang itulah yang terjadi di lapangan. Bolehlah kita bermimpi pendidikan kita seperti di Finlandia atau negara manapun, namun alangkah lebih baik kita fokus dalam membuat guru nyaman mengajar sehingga menghasilkan generasi yang berkualitas. Jangan sampai sang guru sering ikut pelatihan namun sang murid babak belur di tengah jalan.

Semoga bermanfaat, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun