Rumah di Kuto Bedah yang menggunakan pondasi bekas bata kuno.|Dokumentasi pribadi
Selain peninggalan berupa bata-bata dan parit, banyak peninggalan sejarah di lingkungan Kuto Bedah ini. Di antaranya adalah Arca Boddhisattwa, sebuah Arca Indra, enam Arca Brahma, 21 Arca Mahayogi, 24 arca Ganesha, 15 arca raksasa, dua arca naga, dua arca singa, dan beberapa arca berbentuk hewan lainnya. Sayang, arca-arca tersebut banyak yang sudah raib.
Berhubung sejak 1254 Kuto Bedah tak lagi menjadi pusat kerajaan, maka daerah ini perlahan mulai surut. Tak lagi penting. Baru pada masa Pemerintahan Kadipaten Malang, yakni pada masa Adipati Rangga Tohjowo (sekitar 1600 Masehi), daerah ini kembali menjadi pusat pemerintahan.
Semakin masuk ke perkampungan, jalan semakin sempit dan menurun|Dokumentasi pribadi
Ada cerita unik lain mengenai Kuto Bedah yang berasal dari tradisi lisan. Cerita ini diceritakan turun temurun yang bernama Babad Malang. Dalam babad ini diceritakan, akhirnya daerah Malang bisa ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram Islam. Cita-cita Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram yang ingin menyatukan Jawa terhalang oleh geografis daerah ini dan gigihnya masyarakat Malang yang tak sudi menjadi bagian dari Kerajaan Mataram dan menjadi daerah Mataraman. Namun, akhirnya Kerajaan Mataram mampu menjebol benteng pertahanan daerah Malang tepat di pusat pemerintahannya. Makanya, daerah ini disebut Kuto Bedah (kota yang dibelah/diobrak-abrik).
Seorang ibu yang menggendong anaknya sedang meniti jembatan gantung yang berdiri di atas Sungai Brantas. Jika tak punya nyali, jangan coba-coba menaiki kendaraan bermotor di sini.|Dokumentasi pribadi
Meski akhirnya menjadi bagian dari Mataram, hingga kini daerah Malang tak berhasil dikuasai Mataram dari sisi "sosial-budaya" secara penuh. Terbukti, Malang adalah Kawasan Arek yang memiliki kebudayaan sangat berbeda dengan daerah Mataraman, baik dari bahasa, adat-istiadat, dan keseniannya. Serbuan migrasi orang-orang Madura secara bertahap dengan jumlah signifikan ke kawasan ini juga akhirnya membuat Kuto Bedah menjadi sebuah daerah yang unik di Kota Malang. Menjadi sejumput daerah mayoritas berbahasa Madura, di tengah mayoritas penutur bahasa Jawa Arekan.
Atiku rasane loro
Nyawang kowe rabi ro wong liyo
Nangis getih eluhku, remuk ajur rosoku
Kowe tego ninggal akuPetikan lagu hits dari Nella Kharisma yang terdengar dari sebuah acara hajatan dekat Pasar Kebalen membuyarkan lamunan saya akan kisah Kuto Bedah ini. Meski masyarakat di daerah ini bercakap-cakap dalam bahasa Madura, namun mereka tetap memutar lagu-lagu berbahasa Jawa untuk acara hajatan yang mereka gelar. Mereka juga bisa berbicara menggunakan bahasa Jawa Timuran (Arekan) dengan logat Madura kental.
Ah, andai saja daerah Kuto Bedah ini masih menyimpan sisa peninggalannnya, bukan tak mungkin akan menjadi sebuah situs terkenal yang sangat apik. Segagah Machu Picchu, atau kalau tidak seindah Istana Ratu Boko. Berdiri diantara aliran sungai dan parit, membelah bukit, dan berada di tengah modernitas Kota Malang yang semakin melesat ke depan. Sayang, jejak itu kini tak tampak lagi.
Sumber tulisan :
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang.
Gambar: Dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya