Ibu sering mengingatkan itu berulang. Ketika saya belum sekolah. Ketika saya TK, SD, SMP, bahkan ketika saya akan merantau ke Yogyakarta ini. Hati-hati kalau bicara dengan orang yang lebih tua. Pesan itu sangat tergambar jelas.
Tak hanya di lingkungan keluarga, pengajaran bahasa Jawa krama inggil juga menjadi pelajaran mulok wajib di sekolah sejak SD. Apapun etnisnya, anak-anak di kawasan Arek harus belajar bahasa Jawa yang pakem sesuai aturan. Meski itu sangat sulit.
Pengalaman selama tiga tahun mengajar bahasa Jawa, saya harus sabar dan telaten memberikan arti kosa kata bahasa Jawa standar kepada murid-murid. Mereka sering tidak paham dan kesulitan maksud dari banyak kata-kata di buku bacaan. Saya pun punya trik yakni menyuruh mereka membuat catatan khusus kata-kata baru yang harus mereka terjemahkan ke dalam dialek Jawa Timuran. Murid saya yang rajin bahkan sempat membuat kamus kecil untuk menerjemahkan kedua dialek bahasa yang berbeda tersebut.
Pengajaran bahasa krama ini sangat membantu. Identitas orang Jawa tak luntur. Proses adaptasi dengan lingkungan baru bisa dijalankan meski kadang itu sulit. Apalagi, kalau saya sedang menerima telepon dan begitu saja berbahasa arekan.
Ketiga, meski kelihatannya kasar, namun sebagai orang Jawa juga menjunjung tinggi tradisi Jawa. Meski tak sekompleks orang Jogja/Solo, unggah-ungguh juga menjadi prioritas dalam kehidupan. Lha isih wong jowo toh? (Lha masih orang Jawa kan?)
Bagaimanapun, mengubah kebiasaan itu sulit. Meski terdengar kasar dan tidak njawani, namun percayalah, orang-orang dari kawasan Arek memiliki daya juang tinggi dan pantang menyerah. Termasuk juga, tipe orang yang selalu dikangeni. Halah.
Sekian, Mohon maaf bila ada kesalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H