Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dua Alun-alun Kota Malang, Ruang Terbuka Rakyat vs Ruang Eksklusif Penguasa

23 Februari 2017   22:33 Diperbarui: 24 Februari 2017   18:00 3420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah bus Macito (Malang City Tour) sedang melintas di depan Gedung DPRD Kota Malang, yang mewah dan eksklusif

Salah satu keunikan Kota Malang adalah memiliki dua buah alun-alun.


Dua buah alun-alun ini hanya terpisah sekitar 1 km dan dibatasi oleh Sungai Brantas yang mengalir diantara keduanya. Meski hanya terpisah “sepelemparan batu”, namun tahukah anda bahwa kedua ini memiliki posisi yang berbeda dalam sejarah perjalanannya? Kedua tempat yang instagramabel ini, ternyata menjadi tempat eksistensi sesuatu yang disebut ruang terbuka untuk rakyat.  Sedangkan yang lainnya merupakan ruang eksklusif bagi penguasa. Mengapa bisa demikian?

Sejarah panjang kedua alun-alun itu dimulai saat masa penjajahan Belanda. Alun-alun Kotak yang  sering disebut Alun-Alun Malang lebih dahulu dibangun pada tahun 1882. Pembangunan alun-alun ini, awalnya tak lepas dari simbol kekuasaan dari kota-kota di Pulau Jawa. Meski begitu, ternyata alun-alun Malang memiliki anomali dibandingkan dengan alun-alun lainnya. Anomali tersebut adalah letak bangunan-bangunan yang mengelilingi alun-alun tersebut. Biasanya, sebuah alun-alun akan dikelilingi oleh pendopo kabupaten yang langsung menghadap ke alun-alun. Namun, alun-alun Malang ini menyalahi aturan tersebut. Kenapa?

Alun-alun Malang di suatu pagi dengan latar Pendopo Kabupaten Malang.
Alun-alun Malang di suatu pagi dengan latar Pendopo Kabupaten Malang.
Letak pendopo kabupaten berada di sebelah timur alun-alun dan tidak menghadap tepat ke arahnya. Pendopo tersebut menghadap ke selatan, yakni ke pusat perbelanjaan Gajah Mada Plaza dan Malang Plaza. Anomali inilah yang diyakini sebagai bukti bahwa alun-alun Malang tidak merepresentasikan kekuasaan “bangsawan jawa”, melainkan merupakan representasi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial membangun berbagai bangunan khas Belanda,seperti rumah residen, Javasche Bank, gereja, dan Sociteit Concordia (tempat para pembesar Belanda berpesta di sekitarnya). Jadi, maksud awal dari pembangunan Alun-alun Malang adalah untuk membentuk sebuah pandangan bahwa pusat kota sudah dikuasai Pemerintah Kolonial. Dengan adanya representasi dari bangunan kolonial tersebut, maka kontrol ekonomi kolonial atas pribumi akan didapat.

Namun, ternyata maksud dari Pemerintah Kolonial ini tak bisa tercapai. Alun-alun Kota Malang yang seharusnya menjadi sebuah cermin kontrol penguasa ternyata dengan mudah dikuasai rakyat. Anggapan ini didasarkan pada sebuah foto lama yang dikoleksi oleh A. Bierens de Haan. Foto hitam putih yang diambil sekira tahun 1900an itu menggambarkan betapa mudahnya Alun-Alun Kota Malang ditaklukan oleh rakyat jelata. Banyak pedagang makanan dan minuman berjualan di bawah pohon beringin rindang yang berada di sisi barat dan selatan alun-alun. Para pembeli pun juga terlihat banyak. Duduk dengan asyik menikmati hangatnya sore di Malang yang saat itu sebenarnya masih terkungkung oleh kekuasaan kolonial. Mereka tak peduli dengan para penjajah yang masih bercokol di Bumi Arema. Meski tidak secara fisik, namun mereka melakan perlawanan “kultural”. Menguasai alun-alun yang seharusnya  bisa dilakukan dengan mudah oleh Belanda. Lalu, mengapa bisa terjadi perlawanan kultural semacam itu?

Suatu sore di alun-alun Kota Malang (www.kitlv.nl)
Suatu sore di alun-alun Kota Malang (www.kitlv.nl)
Jawabannya kembali pada anomali tadi. Konsep filosofi dari pembangunan Alun-Alun Malang tidak terlaksana. Tatanan simbolik untuk menguatkan citra kekuasaan tidak bisa dicapai. Meski banyak bangunan kolonial di sekelilingnya, tak satupun bukti menunjukkan eksistensi kolonial Belanda di Alun-alun Malang. Yang ada malah sebaliknya, rakyat jelata begitu mudah menguasai alun-alun.

Rakyat jelata yang bisa bebas berkspresi di alun-alun Kota Malang. Termasuk, selfie dan menginjak rumput, hihi
Rakyat jelata yang bisa bebas berkspresi di alun-alun Kota Malang. Termasuk, selfie dan menginjak rumput, hihi
Jika orang Belanda bisa berdansa dan nongki-nongki di Gedung Sociteit yang tak jauh dari alun-alun, maka rakyat jelata juga tak mau kalah. Aneka seni lokal sering dipentaskan di alun-alun, semisal seni ludruk. Pementasan ini sering dilakukan di sisi timur laut alun-alun. Hiburan rakyat ini semakin ramai tatkala perlawanan kultural semakin kuat. Bagi warga pribumi yang kebanyakan beragama islam, perilaku orang Belanda yang berdansa ria dan mabuk-mabukan di Gedung Sociteit adalah perilaku dosa besar. Untuk menghindari hal tersebut, maka hiburan rakyat adalah satu-satunya cara.

Panggung hiburan yang sering diadakan di Alun-alun Kota Malang
Panggung hiburan yang sering diadakan di Alun-alun Kota Malang
Pemerintah kolonial semakin mengabaikan keberadaan alun-alun Malang. Mereka membangun jalur trem yang membelah alun-alun dari arah barat laut menuju arah tenggara. Jalur trem ini menghubungkan Blimbing dengan Dampit (Malang Selatan). Sebuah halte di bawah pohon beringin menambah keramaian alun-alun Malang dengan segenap aktivitas rakyat jelatanya. Alun-alun Malang semakin tidak diperhatikan pemerintah kolonial setelah Kota Malang lahir pada tahun 1914. Pihak gementee (Pemerintah Kota Hindia Belanda) tidak memasukkan alun-alun Malang sebagai bouwplan (rencana pembangunan) tata kota. 

Spot di bawah kandang burung adalah favorit saya di Alun-alun Kotak. Dahulu, jalur trem yang legendaris melintas di sana.
Spot di bawah kandang burung adalah favorit saya di Alun-alun Kotak. Dahulu, jalur trem yang legendaris melintas di sana.
Thomas Karsten, sang arsitek Kota Malang sejak “kemerdekaan” kota ini dari Kabupaten Malang mulai menata ulang pusat pemerintahan baru. Karsten mulai membangun kawasan Alun-alun Bundar dengan bangunan khas eropa yang mengelilinganya. Alun-alun yang baru ini diharapkan tetap menjadi representasi kekuasaan kolonial. Meski citra tersebut akan dibangun, Karsten tak begitu saja melupakan filosofi kearifan lokal. Susunan tapak catur yang berpedoman pada empat arah mata angin tetap digali. Walaupun, tetap saja, pembangunan alun-alun Bunder masih menyisakan keanehan karena berbentuk lingkaran, bukan segiempat.

Berselfie dan narsis di Alun-alun Bundar tidak bisa dilakukan secara sembarangan
Berselfie dan narsis di Alun-alun Bundar tidak bisa dilakukan secara sembarangan
Kearifan lokal yang dilakukan Karsten dalam menyusun alun-alun Bundar tidak serta merta membuat bangunan ini bisa menjadi milik rakyat seperti alun-alun kotak. Alun-alun Bundar tetap menjadi simbol hagemoni kekuasaan kolonial atas pribumi. Apalagi, konsep pembangunan alun-alun Bunder juga dikenal dengan istilah J.P. Coen Plien. Sudah kita ketahui bersama bahwa nama J.P. Coen sendiri adalah nama seorang Gubernur Jendral Hindia Belanda pada awal kekuasaan Belanda di Indonesia. Penamaan ini bermaksud agar hanya kaum Eropalah yang boleh melaksanakan kegiatannya di tempat ini. Salah satunya adalah parade militer Belanda untuk memperingati naiknya Ratu Wilhemina. Tak satupun aktivitas rakyat pribumi bisa dilangsungkan di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun