Saya baru tahu kalau kota kelahiran saya pernah dijadikan arena pertempuran politik superpanas yang mirip dengan apa yang terjadi sekarang di Jakarta.
Sudah lama, sih, sekitar tahun 1950an. Zamannya mbah kakung masih kinyis-kinyisnya merajut cinta dengan mbah putri. Kalau mendengar tahun segitu, pasti di benak saya adalah pertarungan maha gokil yang sering saya baca. Apalagi, kalau bukan perseteruan dua musuh bebuyutan dalam panggung politik Indonesia : Masyumi dan PKI. Dua partai politik yang sama-sama getol memperjuangkan ideologinya masing-masing untuk menjadi ideologi yang paling berpengaruh di Indonesia. Dua partai yang kini sudah tinggal kenangan. Meskipun, sisa-sisa peninggalan mereka, katanya, masih ada.
28 April 1954. Saya tidak yakin, anda yang membaca postingan ini sudah lahir. Satu tahun tepat sebelum pemilu pertama 1955 digelar. Meski masih akan setahun, kondisi politik tanah air sudah memanas. Saat itu, akan digelar rapat umum Partai Komunis Indonesia (PKI) di kota saya, Malang. Sebuah perhelatan besar akan digelar di alun-alun Kota Malang. Meski acara ini digelar oleh PKI, namun massa Masyumi juga datang.
Datangnya massa Masyumi disebabkan oleh provokasi dari PKI berupa sebuah spanduk bertuliskan “Kutuk Teror Perampok Masjumi-BKOI”. Spanduk ini adalah spanduk yang merespon demonstrasi Masyumi-BKOI di Jakarta pada 28 Februari 1954. Demonstrasi ini menyebabkan tewasnya salah satu perwira TNI Kapten Supartha Widjaja.
Menyikapi demonstrasi ini, kedua partai ini bagai apa yang terjadi sekarang seperti saat dua kubu menyikapi aksi 411, 212, dan 112. PKI menganggap demonstrasi itu merupakan teror menjelang pemilu 1955. Namun, Masyumi menganggap spanduk itu fitnah. Meski saat itu belum ada medsos semacam FB dan sejenisnya, toh kedua partai bisa menggerakkan kadernya untuk menyikapi kejadian itu dengan posisi yang berbeda.
Suasana semakin panas ketika DN Aidit, Ketua CC PKI menyatakan bahwa memilih Masyumi itu haram dan memilih PKI itu halal. Meski tak mengutip ayat Al-Quran, tapi kontan saja, pernyataan Aidit itu membuat massa Masyumi semakin marah. Mereka meneriakkan kejadian Madiun 1948 adalah ulah PKI yang ingin menjadikan NKRI sebagai negara komunis. Massa Masyumi yang semakin marah lalu mencoba maju ke depan mendekati Aidit. Menuntut Aidit meminta maaf. Aidit pun meminta maaf dan menyatakan hanya ingin mengabarkan bahwa PKI bukan partai anti-agama. Pertemuan yang berakhir ricuh itu diakhiri dengan aksi perampasan semua atribut kampanye PKI.
Nah, yang bagi saya menarik, lagi-lagi adalah sikap kedua partai itu dalam menyikapi aksi tersebut. Kedua partai memiliki media massa masing-masing yang mencoba untuk menggiring opini publik. Harian Rakyat, media massa PKI mengabarkan bahwa kejadian itu sebagai percobaan pembunuhan terhadap Aidit, seperti yang diberitakan harian tersebut pada 31 Mei 1954. Namun, media massa milik Masyumi, Abadi, mengabarkan sebaliknya. Kader Masyumi yang dipimpin oleh Ketua Masyumi Cabang Surabaya Hasan Aidid berupaya melindungi kemarahan massa.
Membaca sejarah dua partai itu bagi saya seperti menyelami apa yang terjadi sekarang. Kedua partai tak segan untuk saling serang. Saling memberi opini dan saling menunjukkan siapa yang paling benar. Kedua partai akan mencoba sekuat tenaga meraih simpati.
Jumlah kursi yang jauh lebih banyak ini membuat PKI seperti berada di atas angin. Maka, Masyumipun terus membuat propaganda agar partai-partai lain mendukung calon yang diusungnya. Di kalangan masyarakat luas, kedua partai juga saling mencoba menggiring opini masyarakat. Namun, Masyumi gagal. Pemilihan Walikota 1958 itu dimenangkan oleh PKI yang mengusung Raden Satrio Sastrodiredjo. R. Satrio tampil sebagai Walikota Surabaya pertama yang berasal dari PKI.
Dua partai itu terus bertikai hingga penghujung 1950an. Dukungan beberapa petinggi Masyumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta membuat Bung Karno semakin mantap untuk membubarkan Masyumi. Di awal 1960, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Keppres No. 200/1960. Meski ada upaya menghidupkan Masyumi, Pemerintah Orde Baru menutup upaya itu. Parmusi dan PSII, dua partai yang diidentikkan dengan Masyumi, tak bisa meraih suara banyak pada pemilu 1971. Kedua partai itu lalu bergabung dengan NU menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Entahlah, mungkin lagi anggapan saya salah besar, toh manusia tempatnya salah. Tapi, tak ada salahnya belajar sejarah kan? Karena dari sejarah pertikaian Masyumi dan PKI ini, saya kembali memaknai peribahasa yang pernah saya pelajari:
Kalah jadi abu, menang jadi arang.
Meski kedua partai ini terus berseteru hingga akhir hayatnya, tapi saya sungguh salut dengan kisah kedekatan kedua tokoh ini di luar acara politik. M. Natsir, pemimpin Masyumi sering minum kopi bersama dengan DN Aidit sambil berbincang hangat mengenai keluarganya masing-masing. Bahkan, Ketua CC PKI itu tak segan untuk membawakan segelas kopi untuk Natsir.
Biasanya, seusai rapat, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit. Padahal, saat rapat.Pak Natsir sering berkata ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi. Dan, hingga akhir rapat parlemen yang mereka lakukan, tak satupun kursi yang terlempar ke kepala Aidit. Malah, keduanya seperti sahabat karib.
Ah, itulah Indonesia.
Catatan :
1) BKOI adalah Badan Koordinasi Organisasi Islam.
2) Catatan sejarah mengenai sepak terjang Raden Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman amat sangat minim. Bagi pembaca yang memiliki kisah dua orang tersebut, bisa kiranya untuk dibagi,
3) Tulisan ini tidak mewakili pandangan politik saya menjelang Pilkada serentak 15 Februari 2017.
Sumber :
Majalah Historia Nomor 16 Tahun 2013
Majalah Historia Nomor 26 Tahun 2015
Seri Buku Tempo. 2011. Natsir, Politik Santun diantara Dua Rezim. Jakarta : KPG.
Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H