Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Perseteruan Masyumi dan PKI, Dua Gajah Politik yang Hilang Ditelan Bumi

14 Februari 2017   03:24 Diperbarui: 14 Februari 2017   07:40 6172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Moerachman dan Dr. Satrio, dua Walikota Surabaya yang berasal dari PKI. Sumber Gambar : Wikiwand.

Hasil Pemilu Daerah 1957 untuk Kota Besar Surabaya. Sumber : www.pemilu.asia
Hasil Pemilu Daerah 1957 untuk Kota Besar Surabaya. Sumber : www.pemilu.asia
PKI menyambut kemenangan itu dengan gempita. PKI mengatakan bahwa kemenangan itu adalah kemenangan kaum buruh Surabaya, yang merupakan mayoritas warga kota. Sebaliknya, Masyumi menganggap kemenangan itu adalah petaka di sebuah kota besar seperti Surabaya. Hagemoni PKI semakin berkibar dengan naiknya Moerachman, salah satu kader PKI sebagai Walikota Surabaya menggantikan R. Satrio Sastrodiredjo.

Dua partai itu terus bertikai hingga penghujung 1950an. Dukungan beberapa petinggi Masyumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta membuat Bung Karno semakin mantap untuk membubarkan Masyumi. Di awal 1960, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Keppres No. 200/1960.  Meski ada upaya menghidupkan Masyumi, Pemerintah Orde Baru menutup upaya itu. Parmusi dan PSII, dua partai yang diidentikkan dengan Masyumi, tak bisa meraih suara banyak pada pemilu 1971. Kedua partai itu lalu bergabung dengan NU menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Moerachman dan Dr. Satrio, dua Walikota Surabaya yang berasal dari PKI. Sumber Gambar : Wikiwand.
Moerachman dan Dr. Satrio, dua Walikota Surabaya yang berasal dari PKI. Sumber Gambar : Wikiwand.
Sementara, PKI masih bisa bernafas lebih panjang lima tahun. Selama lima tahun kemudian, PKI mendominasi politik Indonesia. Ada anggapan jika Pemilu dilaksanakan pada waktu itu, PKI akan menjadi pemenang. Namun, peristiwa 30 September 1965 mengubah segalanya. PKI, tak hanya dibubarkan seperti Masyumi, namun anggotanya dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan dan menjijikkan. Sampah masyarakat yang harus dibasmi ke akar-akarnya.

Hasil Pemilu Derah 1957 untuk Jakarta Raya. Jakarta, juga menjadi front terbuka perseteruan PKI dan Masyumi. Sumber : www.pemilu.asia
Hasil Pemilu Derah 1957 untuk Jakarta Raya. Jakarta, juga menjadi front terbuka perseteruan PKI dan Masyumi. Sumber : www.pemilu.asia
Dua partai besar yang berseteru itu kini tinggal kenangan. Penerawangan ke masa lalupun saya akhiri. Melihat apa yang akan terjadi setelah tanggal 15 Februari nanti. Apakah kekuatan-kekuatan besar itu masih tetap ada? Atau akan juga lenyap menuju sunyi seperti PKI dan Masyumi ?

Entahlah, mungkin  lagi anggapan saya salah besar, toh manusia tempatnya salah. Tapi, tak ada salahnya belajar sejarah kan? Karena dari sejarah pertikaian Masyumi dan PKI ini, saya kembali memaknai peribahasa yang pernah saya pelajari:

Kalah jadi abu, menang jadi arang.

Meski kedua partai ini terus berseteru hingga akhir hayatnya, tapi saya sungguh salut dengan kisah kedekatan kedua tokoh ini di luar acara politik. M. Natsir, pemimpin Masyumi sering minum kopi bersama dengan DN Aidit sambil berbincang hangat mengenai keluarganya masing-masing. Bahkan, Ketua CC PKI itu tak segan untuk membawakan segelas kopi untuk Natsir.

Biasanya, seusai rapat, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit. Padahal, saat rapat.Pak Natsir sering berkata ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi. Dan, hingga akhir rapat parlemen yang mereka lakukan, tak satupun kursi yang terlempar ke kepala Aidit. Malah, keduanya seperti sahabat karib.

 Ah, itulah Indonesia.

Catatan :
 1) BKOI adalah Badan Koordinasi Organisasi Islam.
 2) Catatan sejarah mengenai sepak terjang Raden Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman amat sangat minim. Bagi pembaca yang memiliki kisah dua orang tersebut, bisa kiranya untuk dibagi,
 3) Tulisan ini tidak mewakili pandangan politik saya menjelang Pilkada serentak 15 Februari 2017.

Sumber :
 Majalah Historia Nomor 16 Tahun 2013
 Majalah Historia Nomor 26 Tahun 2015
 Seri Buku Tempo. 2011. Natsir, Politik Santun diantara Dua Rezim. Jakarta : KPG.
 Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun