Patung Jendral Soedirman di Jl Yos Sudarso (Dokumentasi pribadi)
Sebelum sampai di sana, saya menemukan sebuah Gereja bernama GPIB Maranatha. Sepintas, gereja ini mirip sekali dengan model gereja yang saya temukan di atlas atau buku pelajaran. Mewakili umat ibadah umat Kristen Protestan. Halaman gereja ini sangat luas. Di depan gereja berjaga beberapa polisi. Ketika saya hendak meneyeberang, seorang polisi menghampiri saya. Awalnya, saya agak takut karena dikira akan berbuat hal tidak baik dengan gereja tadi. Rupanya, saya diminta memotret kegiatannya menjaga gereja tadi. Katanya, foto tersebut akan dikirim melului WA grupnya untuk laporan. Oh, saya kira apa.
GPIB Maranatha dan Bapak Polisi yang meminta berfoto (Dokumentasi pribadi)
Selepas memfoto polisi tersebut, saya lalu menuju halaman Gedung Balaikota. Ternyata cukup luas juga. Saya harus mencari jalan masuk untuk bisa memotret gedung Balaikota Surabaya dari dekat. Rupanya, di sana sudah ada beberapa warga yang berolahraga. Bahkan, ada yang bermain bola. Salah seorang petugas satpol PP mempersilahkan saya masuk. Saya pun lalu menuju taman balaikota.
Pedestrian di sisi timur balaikota Surabaya (Dokumentasi pribadi)
Memandang Gedung Balaikota, penerawangan saya kembali kepada beberapa literatur yang telah saya baca. Antara lain, betapa pesatnya perkembangan Kota Surabaya, palagi sejak ditetapkannya menjadi kotapraja pada tahun 1906. Surabaya tak lagi hanya menjadi daerah pemukiman, tapi juga menjadi pusat ekonomi, industri, pendidikan, budaya, hingga pemerintahan.
Salah satu sudut taman di Gedung Balaikota Surabaya (Dokumentasi pribadi)
Pesatnya perkembangan Surabaya ini mau tak mau juga menjadikan Surabaya arena pertarungan politik. Salah satunya, adalah cerita kemenangan mutlak Partai Komunis Indonesia pada pemilihan umum daerah pada 1956. Kemenangan ini membuat Surabaya pernah dipimpin oleh walikota dari PKI, yakni Raden Satrio Sastrodiredjo (1958-1963) dan Moerachman (1963-1965). Menurut beberapa orang Surabaya, foto dua walikota Surabaya itu tak lagi terpajang pada Gedung Balaikota. Mungkin, tragedi 1965 masih menyimpan sesuatu. Tapi, karena saya tak dapat akses masuk ke dalam dan membuktikannya, biarlah itu hanya menjadi cerita. Yang terpenting, kini Surabaya telah maju pesat. Apalagi, sejak Bu Risma tampil sebagai walikota, Surabaya semakin berjaya. Saya sangat bersyukur, berkat Kompasiana, saya pernah menemuinya.
Sungai di dekat Monumen Kapal Selam. Tampak dari jauh Grand City, salah satu pusat hedonisme Kota Surabaya (Dokumentasi pribadi)
Berjalan-jalan di Surabaya pagi itu sangat menyenangkan. Saya kembali melewati bangunan bersejarah berupa lorong yang dibangun pada zaman belanda pada tahun 1915. Bangunan ini berpadu cantik dengan kemajuan kota. Ditambah lagi, banyak pelican crossing yang membuat saya, sang pengidap agyrophobia mudah untuk menyeberang ramainya jalan Surabaya. Tak hanya itu, jembatan penyeberangan juga telah dilengkapi kamera CCTV. Dari ketinggian, saya bisa menikmati Surabaya.
Penampakan salah satu jembatan penyeberangan jalan di Surabaya
Salah satu lorong tua di kawasan sinpang, Surabaya
Memandang Surabaya dari atas. Salah satu destinasi favorit saya di Surabaya
Sumber Buku :
Basundoro, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman: Malang dan Surabaya Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Sumber Daring: (1)Â (2)Â (3)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya