Mengajar dan Menulis
Dua hal yang membuat hidup saya bahagia di dunia ini. Dua hal yang menjadi investasi saya untuk kehidupan saya selanjutnya. Bukan hanya sekedar passion, tapi dua hal itulah yang terus-menerus ingin saya lakukan. Setiap hari, setiap waktu.
Perjumpaan pertama saya dengan Kompasiana bermula ketika saya membaca sebuah artikel mengenai penyakit Psikosomatis. Penyakit yang tiba-tiba menyerang saya saat duduk di bangku akhir kuliah. Saat itu, saya merasakan kesakitan yang amat sangat. Meski dokter yang memeriksa saya mendiagnosis bahwa ada gangguan pencernaan pada bagian lambung, namun saya masih ingin mencari apa penyebab penyakit yang saya alami.
Artikel tersebut ditulis oleh seorang dokter. Selain berptofesi sebagai dokter, beliau juga senang menulis, terutama tulisan mengenai gangguan psikosomatis. Saya baru sadar bahwa apa yang saya alami bermula dari pikiran buruk mengenai kehidupan saya di masa datang. Pikiran bahwa saya akan mengalami kegagalan di masa datang. Pikiran yang banyak dialami oleh manusia dari masa peralihan remaja menuju dewasa.
Setelah membaca artikel tersebut, saya mulai membaca artikel-artikel lain di Kompasiana. Ternyata, tak hanya satu dua artikel yang menurut saya bagus, tapi tak terhitung. Saya sering menggumam dengan kalimat, “Oh iya ya” dan “Oh begitu ternyata”. Gumaman yang membuka ketidaktahuan menjadi tahu. Dari hanya sekedar ingin tahu menjadi keingintahuan menggali informasi lebih banyak. Dan akhirnya, artikel demi artikel saya jelajahi.
Saya terkesima dengan artikel-artikel yang ditulis oleh Kompasianer, kala itu. Mengalir dengan enak, mudah dibaca, dan membahas hal-hal yang menurut saya penting bagi kehidupan sehari-hari. Terangkai dalam aneka topik. Beraneka ragam latar belakang dan profesi sang penulis. Belum lagi, saya sangat kagum dengan riuh rendahnya balasan komentar di dalamnya. Meski kadang terjadi perbedaan pendapat, tapi perbedaan itu malah menambah semarak. Hingga saya berfikir, inilah Indonesia sesungguhnya.
Lantas, saya merenung, mengapa saya tak ikut di dalamnya?
Mengapa saya tak ikut menjadi bagian dari Indonesia kecil ini?
Dan, tibalah saat itu. 1 Maret 2013. Jika anda melihat profil saya, itulah pertama kali saya resmi menjadi Kompasianer. Dua bulan kemudian, tepatnya beberapa hari setelah saya menjalani sidang skripsi, artikel pertama saya tulis. Dan uniknya, artikel pertama saya adalah pengalaman saya tersesat saat melakukan solo travelling untuk pertama kalinya, bisa anda baca di sini. Kegiatan yang juga membuat saya bahagia.
Di artikel tersebut saya masih menulis seadanya. Belum memperhatikan susunan kata yang pas, ide yang mendalam, konjungsi antar kalimat, masih menggunakan pilihan kata yang sering berulang, dan belum ada foto pendukung yang ciamik. Meski begitu, ternyata ada Kompasianer yang mengapresiasi tulisan saya lewat komentar dan rating. Apresiasi awal yang membuat saya menjadi semangat untuk menulis lagi.
Artikel demi artikel kemudian saya kirimkan. Komentar demi komentar saya terima. Satu per satu pertemanan, saya jalin. Dan interaksi saya menjadi semakin akrab dengan teman-teman Kompasianer. Bagi saya, mereka tidak hanya teman, tapi juga saudara. Meskipun saya tak pernah bertemu secara langsung dengan mereka, namun entah mengapa saya bisa begitu dekat. Apalagi, jika kesukaan kami sama pada bidang-bidang tertentu. Rasanya, saya seperti dipertemukan di sebuah biro jodoh. Terdengar berlebihan sih tapi itulah yang saya rasakan.
Tak terhitung Kompasianer yang saya anggap sebagai teman dan saudara. Bukan saya membedakan dengan Kompasianer lain, tapi ada dua Kompasianer spesial yang masih berbekas di hati saya. Kebetulan, identitas asli dari dua Kompasianer tersebut tidak saya ketahui. Dan, yang membuatnya berkesan, tulisan dari dua Kompasianer itu benar-benar membuat saya selalu menunggu artikel baru yang ditayangkan. Dua kompasianer itu bernama Lumba-Lumba dan Mou Soul. Saya memanggil keduanya dengan Mbak Lumlum dan Mbak Mou. Saya tidak tahu bagaimana wajah asli, domisili, pekerjaan mereka. Saya hanya mengetahui keduanya adalah seorang wanita.
Mbak Lumlum sangat mengapresiasi tulisan saya. Demikian pula dengan Mbak Mou, yang selalu meminta izin untuk mengkopi-paste tulisan saya. Bukan apa-apa, dari kedua Kompasianer ini saya merasa bahwa karya kita dihargai. Maka dari itu, saya juga mengapresiasi tulisan mereka. Dimulai dari membalas apresiasi ini, ternyata saya malah ketagihan membaca tulisan mereka. Tulisan Mbak Lumlum yang fenomenal adalah cerbung dengan latar perang dunia II berjudul Gadis Tercantik di London.
Sedangkan, tulisan Mbak Mou adalah seputar kehidupan sehari-hari namun banyak pengetahuan baru yang saya dapat di dalamnya. Sayang, saya tidak menemukan tulisan terbaru dari mereka lagi. Mereka juga tidak beraktivitas di Kompasiana lagi. Semoga melalui tulisan ini, saya bisa terhubung lagi dengan mereka berdua.
Selain dua Kompasianer tadi, masih banyak Kompasianer yang saya kagumi tulisannya. Kalau saya sebut satu per satu, tak akan muat tertuang dalam artikel ini. Yang jelas, saya sangat senang membaca tulisan mereka dan belajar banyak hal, terutama dalam hal memperbaiki tulisan saya. Dengan membaca tulisan-tulisan mereka, saya bisa mengupgrade kulitas tulisan saya. Saya juga bisa lebih memaknai arti kehidupan saya lewat pengalaman-pengalaman yang ditulis oleh Kompasianer.
Untuk acara kopdar Kompasiana atau yang disebut Nangkring, saya hanya sekali mengikutinya. Itupun ketika diadakan di Surabaya saat kami berdiskusi asyik dengan Bu Risma, sang Walikota Surabaya. Saat itu, saya rela datang jauh dari Malang. Di tengah jalan saya bertemu dengan dua Kompasianer dari Malang juga. Kami berpanas-panasan membelah Kota Surabaya demi mencari Gedung Kompas Gramedia Surabaya. Usaha kami tak sia-sia. Acaranya seru. Teman-teman Kompasianer asyik. Dan, acara Nangkring Kompasiana berhasil menyatukan antara Bonek dan Aremania yang sering berseteru. Kami larut berdiskusi hingga sore hari. Itulah momen paling berkesan selama saya bergabung dengan Kompasiana.
Pengalaman berkesan lain adalah ketika tulisan saya terpajang pada toko buku-toko buku di seluruh Indonesia berkat Kompasiana. Meski di dalam buku tersebut bukan hanya berisi tulisan saya, tapi saya tetep senang. Bagi saya, capaian itu sudah menggembirakan. Semoga saya bisa melanjutkan tulisan-tulisan saya untuk menjadi sebuah buku yang bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H