Tapi anehnya, meski harus melembur dari pagi siang sore malam, bak lagu band Armada, saya kok asyik ya saat mendekati hari H. Padahal teman guru lain pada nervous. Saya juga heran, dibandingkan menyusun skripsi, yang bagi saya jauh lebih sistematis dan saya cukup paham materinya dibanding akreditasi, saya kok tidak terlalu gimana gitu. Mungkin di kepala saya hanya cepat selesai, karena saya selalu kepikiran dengan anak-anak yang sering saya tinggal untuk menyusun tugas-tugas akreditasi.
Dan juga, saya kok berpikir kalau akreditasi ini bisa saya jadikan bahan refleksi kinerja kami. Tak hanya itu, saya juga ingin melampiaskan segala unek-unek yang saya alami kepada para asesor. Agar mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di sekolah kami. Agar mereka tahu kehebatan dan kebobrokan sekolah kami.
Beberapa poin yang bisa saya ambil adalah :
1. Masih belum ketatnya aturan kedisiplinan guru, terutama guru PNS yang malas. Para asesor memberikan wejangan berupa sistem absen yang cukup bisa membuat para guru lebih disiplin, yakni berupa jam kedatangan dan kepulangan, yang diiisi oleh guru piket dan diketahui oleh KS. Asesor juga memiliki ide untuk mebuat kartu kedatangan berupa aneka warna sesuai jam kedatangan. Misal, untuk yang datang awal hijjau, lalu kuning, dan merah. Nantinya, jam kedatangan ini akan mejadi dasar KS atau pengawas memberikan penilaian, di samping kinerja lainnya.
2. Bukan bermaksud menyombongkan diri, para asesor memberi penilaian bahwa GTT lebih disiplin dibanding PNS. Bahkan salah satu asesor berkata, jika ada keajaiban ingin menukar status GTT yang rajin dengan PNS yang malas. Saya no commen dengan masalah ini hanya bisa berharap para PNS yang malas bisa berubah karena gelontoran dana sertifikasi yang mereka harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan kan?
3. Selama kurun waktu terakhir, kegiatan supervisi guru seperti hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja. Harusnya, setelah KS melakukan supervisi, para guru harusnya mendapat nilai dan umpan balik supervisi agar ada peningkatan ke depan. Saya lalu memberi sebuah ide bagaimana kalau supervisi bisa dilakukan dalam waktu yang cukup dekat, entah tiap bulan atau tiap minggu. Nantinya, setelah supervisi, guru juga membuat rencana untuk memperbaiki cara mengajarnya yang ternagkum dalam RPP. Tapi kelihatannya ide saya ini hanya sekedar ide mengingat banyaknya acara yang harus dilakukan guru, hehe.
4. Poin terakhir yang juga membuat saya terharu adalah ketika para asesor menyemangati kami untuk tetap ikhlas menjalankan tugas sebagai guru, terutama bagi kami yang “hanya” sebagai GTT. Memang dibanding profesi lain, guru tak memberi jaminan penghasilan lebih, tak memiliki seragam gagah, tak juga memiliki prestise yang wah. Tapi profesi guru adalah pondasi dasar sebuah masyarakat. Jadi, sebanyak apapun tugas kami, hendaknya dikerjakan sebaik-baiknya. Jika anak didik kita berhasil, maka tak ada nilai uang yang bisa dibandingkan. Kata-kata asesor ini yang mebuat saya mewek, hehe.
Sebulan berkreditasi membuat saya semakin sadar pendidikan kita masih jauh dari kata maju. Saya hanya bisa berharap agar kebijakan pendidikan tak lagi berubah-ubah, dan para guru bisa lebih fokus untuk mengajar, bukan mengejar setoran.
Salam.
Gambar milik pribadi