Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Raskin (9)

30 Januari 2014   08:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Sebelumnya : <<<<

“Rendra,,,, cek posisi… Ganti”, pria itu mencoba mengontak temannya.

Tak ada jawaban.

Ke mana anak ini, batinnya. Apa dia nekat masuk ke sana. Sudah ku bilang jangan gegabah. Pria bernama Sharif itu terus mencoba kembali percakapan dengan rekan kerjanya.

“Sepertinya dia memang sedang dalam masalah. Aku harus bertindak cepat”, ujarnya. Lalu dia meninggalkan tempat itu.

----------------ooooo--------------------------------------------------------------------ooooo------------------------------------

Hari beranjak senja. Ardi mengikuti Herman menuju bangunan tua yang sempat dilihatnya kemarin. Tidak salah lagi, pasti mereka menculik Sasa di sini, pikirnya. Segera setelah ia memarkir motornya, dia berlari masuk ke dalam. Herman mengikutinya dari belakang.

“Mana anakku. Cepat lepaskan!” Ardi berteriak.

“Oh, ini dia jagoan kita akhirnya muncul. Apa kabar, Ardi?” tanya Arya. Senyum di wajahnya menyiratkan tantangan untuknya.

“Jangan main-main denganku. Cepat lepaskan putriku!” Ardi semakin naik pitam.

“Putri yang mana. Apa yang ini?” Arya mengejek sambil menyeret Rendra yang baru dikeluarkannya dari kamar. Rendra mencoba menggeliat melepaskan ikatannya.

“Siapa dia?” tanya Ardi.

“Dia tikus yang berhasil kami tangkap. Sebentar lagi dia akan kami habisi bersamamu, hahahaha!” Herman tertawa keras.

“Apa? Kalian benar-benar kejam. Memperlakukan orang seperti itu. Ayo, mana putriku?”

“Putrimu sudah pulang. Kami hanya meminjam suaranya. Rupanya putrimu cukup bodoh mau melakukannya. Terlebih lagi ayahnya juga mau saja dijebak. Hahahaha”, tawa Herman semakin keras. Ardi baru sadar dia telah dijebak lagi oleh dua berandal itu.

“Kalian. Benar-benar harus diberi pelajaran. Apa mau kalian? Cepat lepaskan orang itu!”

“Gampang. Kau berduel denganku dulu. Kalau menang, kau bawa tikus ini pergi. Aku tak akan mengganggumu lagi. Tapi kalau kau kalah, kau harus mau berlutut di depanku. Tidak hanya itu saja, kau harus menyerahkan istrimu ke Herman dan mau ikut dengan Siska ke manapun dia pergi”, Arya memberi tantangan.

Ardi bimbang. Sebenarnya dia tak mau berurusan dengan mereka. Tapi melihat pria malang di depannya tak berdaya dan di ujung maut serta niatnya membongkar kejahatan mereka membuatnya menerima tantangan itu.

“Baik, aku terima tantanganmu. Tapi ingat, kita duel satu lawan satu tanpa senjata dan tak ada yang boleh main belakang” kata Ardi.

“Baik, ayo kita mulai”, Arya bersiap dengan melepas jaketnya.

Ardi bersiap memasang kuda-kuda. Dia mencoba menjajal kemampuan Arya dulu. Biar sang lawan dulu yang menyerang. Dua orang itu kini berhadap-hadapan dalam jarak dekat. Melihat Ardi belum memberikan serangan, Arya berinisiatif memulai.

“Rasakan ini”, Arya melesatkan tendangan yang akan mengenai wajah Ardi. Secepat kilat Ardi menghindar. Ia tahu Arya akan melepaskan tendangan sebagai pembuka. Persis saat mereka berduel dulu. Mengetahui lawannya berhasil menghindar, Arya dengan cekatan menyarangkan tinjunya dari arah samping, ia tahu kelemahan Ardi dari rusuknya. Ardi terkena pukulan itu. Tapi untungnya tangannya sempat sedikit menangkisnya. Dia mundur perlahan.

“Hebat juga kau, Ardi” kata Herman yang melihat mereka bertarung.

Kini Ardi mencoba melepaskan pukulan ke tengkuk Arya, namun Arya dengan sigap menangkis pukulan itu. Ardi tak menyerah sebuah tendangan coba diarahkannya ke bagian kaki kiri kawannya. Tendangan itu berhasil. Arya tak menyadari Ardi akan melepaskan tendangan tiba-tiba. Dia jatuh, namun serangan itu belumlah mematikan.

“Lihat, Arya. Kau masih lemah dengan serangan seperti itu”, Ardi berkata pada musuhnya. Mencoba menjatuhkan mentalnya.

“Jangan senang dulu. Pertandingan belum usai”, sungut Arya.

Arya lalu mencoba melayangkan kembali pukulan ke rusuk Ardi. Pukulan itu kembali gagal. Ardi telah tahu lawannya terus mencoba melesatkan ke arah rusuknya. Sebuah cover yang cukup sempurna dilakukan Ardi untuk menutupi kelamahannya itu.

“Sial, pertahanannya masih bagus juga. Kukira dia akan mudah terkena serangan mendadak tadi”, geram Arya dalam hati.

Kali ini Ardi berganti menyerang. Diarahkannya sebuah pukulan keras ke muka Arya. Lagi-lagi serangannya kena. Arya terhuyung beberapa langkah. Darah segar keluar dari bibirnya. Herman melihat ini sebagai tanda tak baik. Ardi rupanya masih terlalu kuat bagi Arya.

Ardi melihat Arya mengeluarkan darah dari bibirnya. Dia masih memberi kesempatan bagi musuhnya untuk kembali bangkit. Menyadari Ardi lengah, Arya lalu menyerang tiba-tiba. Kali ini pukulan kerasnya tepat mengenai rusuk Ardi.

“Arggggh”, Ardi kali ini terlihat kesakitan sambil memegangi perutnya. Bagian ini yang sejak dari dulu menjadi kelemahannya. Jika dia tak bisa mengcover serangan ke arah rusuk dari lawannya, dia pasti akan jatuh. Dia harus lebih hati-hati lagi.

Arya tersenyum melihat Ardi kesakitan. Dia harus fokus menyerang bagian lemah lawannya itu. Sebuah tinjuan keras kembali dilayangkan ke arah rusuk Ardi. Rupanya Ardi cukup cekatan. Dia menghindar dengan menunduk. Secepat kilat tendangan berputar dilesatkannya ke kaki kiri Arya.

Arya tersungkur, namun masih dapat berdiri. Tanpa membuang kesempatan, Ardi melayangkan sebuah tinju keras ke arah rusuk lawannya. Serangannya kembali mengenai targetnya. Mendapat serangan bertubi-tubi itu, Arya mencoba membangun pertahanannya. Pukulan kembali dilayangkan Ardi, kali ini ke bagian pipi kiri Arya. Arya yang mengira lawannya bakal memberi pukulan di perutnya tidak bisa menghindar. Kembali tubuhnya mundur beberapa langkah. Ardi lalu melakukan tendangan mendadak ke bagian kaki Arya sekali lagi. Arya kali ini benar-benar tak kuasa mendapat serangan itu. Dia terjatuh ke lantai yang membuatnya cukup sulit berdiri.

“Sudahlah, Arya. Menyerahlah. Kau masih terlalu lemah untuk bertarung denganku”, kata Ardi.

Arya hanya diam. Dia sangat kesal. Lagi-lagi dia kalah dengan pria ini. Tapi sebuah asa baginya mulai muncul. Dilihatnya Herman memegang sesuatu.

“Cepat, menyerahlah, atau…………………”, Ardi tak melanjutkan kata-katanya. Kini tubuhnya tiba-tiba tersungkur ke lantai. Kepalanya langsung merasa pusing. Rupanya dia telah dihantam oleh Herman dengan sebuah balok kayu.

“Ayo cepat Arya, habisi dia”, Herman memegangi tangan Ardi. Ardi mencoba meronta untuk melepaskan diri. Tapi usahanya gagal. Dengan segera Arya melepaskan tinjuan keras ke arah rusuk Ardi. Tidak hanya sekali, namun bertubi-tubi,

“Arghhh…kalian pengecut! Arrgghhhhh…….”, Ardi berteriak kesakitan.

“Lepaskan dia. Biar aku yang menghabisinya”, Arya meminta Herman melepaskan Ardi. Herman menuruti perintahnya. Ardi langsung limbung ke lantai. Dia akan mencoba bangkit. Sebelum dirinya berhasil berdiri dengan sempurna, tendangan keras kembali mengenai rusuknya. Diikuti dengan tinjuan yang juga mengenai rusuknya. Ardi kembali jatuh. Keringat dingin keluar dari dahinya.

Aku harus bangkit, ujarnya dalam hati. Dia kembali lagi mencoba berdiri. Arya membiarkannya. Ardi berhasil berdiri sambil memegangi perutnya. Kali ini dia merasa kekuatannya mulai melemah. Tapi dia masih mencoba membuat serangan ke arah wajah Arya. Malang, serangan itu sia-sia. Pukulannya tak sekuat tadi. Dengan mudahnya Arya memegangi tangan Ardi. Dengan lututnya, Arya melesatkan serangan kembali ke rusuk Ardi. Ardi berteriak kesakitan. Arya kembali mencoba menghabisi lawannya. Dihujamkannya dua pukulan telak, kali ini ke wajah Ardi. Serangan itu diikuti tendangan keras ke arah rusuk lawannya. Genggaman tangan lawannya dilepaskan. Ardi langsung jatuh tersungkur dengan posisi tengkurap. Dia mencoba untuk berdiri tapi gagal.

“Ayo, berdiri. Lawan aku lagi”, Arya mengejek Ardi.

“Ayo, Ardi. Mana kemampuanmu? Bukankah kau selalu menghajarku dengan sekali tendang”, Herman juga ikut mengejek. Dia melampiaskan ejekannya dengan sebuah tendangan ke tubuh pria itu. Kapan lagi dia bisa mengahajarnya.

“Arghh..Kalian…pengecut….aku….arghhhh…tidak akan…..pernah….arggghh…menyerah….” Ardi meringis kesakitan. Dia tidak akan pernah menyerah dengan bajingan-bajingan ini.

“Ayo. Kalau kau belum menyerah cepat berdiri!” bentak Arya. Wajahnya bagaikan harimau yang siap menerkam mangsanya. Mangsa yang telah lama dicarinya. Dendamnya sudah tersampaikan.

Ardi menggenggam tangannya. Dia akan bediri dengan tumpuan tangannya. Tapi semua badannya telah terasa sakit. Energinya telah habis. Ditambah pukulan benda di lehernya tadi. Kepalanya terasa pusing dan ingin muntah. Saat akan mulai bangun, kaki Arya malah menekan punggungnya. Ardi kembali mencoba bangun. Usahanya sia-sia. Kaki Arya semakin kuat menekan punggungnya.

“Ayo jagoan. Mana kemampuanmu? Ayo mana kekuatanmu?” Arya kembali mengejeknya.

Ardi benar-benar tak berdaya. Dia telah kalah. Ya, dia telah kalah dengan musuh bebuyutannya ini. Tapi dia kalah secara ksatria.

“Baik. Rupanya kau telah menyerah. Sekarang kau harus ikuti semua permintaan kami!” ujar Herman.

Rendra yang melihat pertarungan tak seimbang itu mencoba melepaskan ikatannya. Kali ini berhasil. Dilepaskannya tendangan ke arah Herman. Herman langsung tersungkur. Tapi Arya dengan cekatan menggenggam tangan polisi muda itu. Dia lalu menghajarnya berkali-kali. Rendra kembali tumbang.

“Dasar tikus. Masih berani juga main-main denganku”, umpatnya. Kini Arya berjalan mendatangi Ardi. Dia melihat tubuh pria itu menggelepar bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air.

“Bagaimana, kau mau turuti perintah kami?” Arya bertanya lagi.

Ardi menatap Arya. Mereka saling bertatapan. Tidak, aku tidak boleh menyerahkan kehormatanku dan keluargaku pada mereka. Aku juga tidak akan menyerahkan kehormatan warga yang telah dijajah mereka, batin Ardi. Lebih baik aku mati. Ya, lebih baik aku mati. Mereka akan mendapatkan balasasannya suatu hari nanti.

“Ayo jawab!” bentah Arya.

“Tidak!....aku..argghhh…tidak akan mau….menuruti…arghhhh…keinginan kalian….”Ardi bersikeras.

“Baik. Kalau itu yang kau mau”, Arya lalu duduk mendekati Ardi. Ditariknya rambut pria itu. “Kau benar-benar membuatku muak!” kata Arya. Sebilah pisau dikeluarkan dari sakunya.

“Arya, apa yang kau lakukan? Siska bisa marah”, Herman kaget melihat Arya akan membunuh Ardi. Dia hanya berniat menyakitinya, bukan membunuhnya.

“Sudah, diam saja kau. Ini urusanku!” bentak Arya. Herman tak bisa berbuat banyak. Baginya yang penting kini Heni akan menjadi miliknya.

Ardi melihat pisau itu akan menghujam tubuhnya. Dia sadar hidupnya akan segera berakhir. Maafkan aku Heni, maafkan aku, Sasa dan Sisi. Aku tak bisa menjaga kalian lebih lama. Aku akan pergi dulu selamanya, ujarnya dalam hati. Pikirannya mengatakan mungkin inilah yang disebut titik darah penghabisan.

Bersambung

>>>>: Episode Selanjutnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun