Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah Gratis Memiskinkan Empati?

19 Januari 2015   00:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:51 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
timewellness.wordpress.com

Beberapa hari yang lalu sekolah tempat saya bekerja mengadakan kunjungan ke panti asuhan. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="timewellness.wordpress.com"][/caption]

Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan kunjungan ke panti asuhan kali ini. Namun, rasan-rasan beberapa guru yang saya dengar membuat beberapa poin penting bisa saya ambil. Di dalam kunjungan ke panti asuhan ini, siswa-siswi dianjurkan (bukan diwajibkan) untuk menyumbang beberapa jenis barang yang akan disalurkan kepada teman-teman di panti asuhan. Sumbangan tersebut antara lain berupa peralatan tulis dan beras.

Sedianya, sumbangan dikumpulkan dalam jangka waktu tertentu untuk segera disalurkan. Namun, hingga hari-hari terakhir pengumpulan, masih banyak siswa-siswi yang belum menyumbang. Menurut pemikiran saya awalnya bisa jadi siswa-siswi tersebut memang dalam kondisi kurang mampu sehingga tidak bisa menyumbang barang-barang yang sebenarnya nilainya tak terlalu tinggi. Dan pihak sekolahpun tak mematok berapa besar sumbangan yang harus mereka kumpulkan. Yang menjadi tujuan utama adalah agar siswa memiliki rasa peduli terhadap sesama dan mulai memupuknya sejak dini. Dan kegiatan ini juga dalam rangka memperingati Maulid Nabi yang juga dapat dijadikan momen untuk meneladani sifat-sifat mulia beliau yang salah satunya adalah suka menolong sesama.

Dari rasan-rasan guru, saya mendengar memang beberapa tahun terakhir ini terjadi sebuah fenomena yang cukup miris. Orang tua siswa cukup sulit untuk dimintai bantuan materil meskipun hal tersebut benar-benar ditujukan untuk membantu sesama. Dengan dalih sekolah gratis, mereka sepertinya enggan untuk mengeluarkan materi yang mereka miliki. Mereka beranggapan bahwa sekolah yang menjadi tempat mendidik mereka benar-benar gratis-tis-tis.

Meskipun pemikiran seperti ini tidak sepenuhnya dimiliki orang tua siswa, namun adanya pemikiran seperti ini cukup disayangkan. Apalagi saya juga kerap menjumpai orang tua siswa yang berkeberatan membayar uang lomba untuk anaknya yang mengikuti ekstrakulikuler tertentu. Padahal biaya lomba yang dibebankan tidaklah sedikit. Jika dipikirkan lagi, dengan sekolah gratis seperti ini semestinya dapat dijadikan momen orang tua untuk mengembangkan minat putra-putrinya di bidang lain.

Satu hal lagi yang menjadi miris adalah, dengan sekolah gratis ini saya melihat fenomena orang tua yang memberi uang saku putranya dengan jumlah yang cukup banyak. Nah kondisi ini menyebabkan mereka lebih senang menghabiskan uang saku mereka untuk dirinya sendiri. Rasa egoisme ke-aku-an saya amati cukup dominan jika saat saya masih sekolah dulu. Rasa enggan untuk membantu dan berempati terhadap sesama menjadi sedikit luntur. Saat sekolah masih membayar dan orang tua tak memberi uang saku dengan berlimpah.

Tentunya lagi-lagi, kondisi ini dikembalikan lagi kepada peran orang tua dan guru dalam membina putra-putrinya. Jangan sampai mereka terlena dengan sekolah gratis namun bisa memiskinkan empati.

Sekian. Mohon maaf jika ada kekurangan. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun