Mohon tunggu...
Muhammad Ikrimah
Muhammad Ikrimah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

masih belajar untuk jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Tinggal Dunia

1 Desember 2013   16:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit tengah menggulita, tanpa ada bintang maupun bulan. Yang ada hanya kegundahan. Kegundahan langit yang menumpahkan air mata gundahnya, kegundahan Nia yang di matanya mengalir luapan emosi membasahi pipinya, sambil sesekali terdengar suara tangis yang begitu kecil nyaris tak terdengar oleh siapapun.

Di dalam kamarnya yang tidak begitu luas. Di atas ranjang, Tak henti-hentinya Nia memandangi monitor laptopnya, sebuah dinding facebook dengan status terakhir “apakah benar roh (atau apapun namanya, sesuatu yang halus dalam diri manusia) ketika terpisah dari jasad, hanya memiliki waktu 40 hari di dunia ini lalu kemudian berpindah ke dunia lain? Lalu mengapa ada arwah yang gentayangan sampai bertahun-tahun? Kata para ustadz, mereka hanyalah jin yang berupaya merusak iman manusia. Apakah benar, jin begitu kompak dan massivenya untuk mengecoh manusia? Atau para ustadz lah yang begitu kompak dan massivenya memaksakan kepercayaannya pada tiap manusia untuk mengabaikan segala realitas yang ditangkap oleh manusia?”

Di status tersebut, juga terdapat komentar Nia “silakan mati duluan, biar kamu tahu kebenarannya. Kalo sudah tahu, bagi-bagi ilmunya yah”

Lalu terdapat komentar dari Ansar yang merupakan pemilik status tersebut “kamu saja yang mati duluan. Hehehehe”

Bukan pertanyaan-pertanyaan itu yang membuat Nia begitu bersedih, namun kaitan dari status itu dengan kematian Ansar  dua hari yang lalu. Dia sangat gundah seolah esok dunia akan semakin gelap segelap langit bahkan segelap kegundahannya kini. Mestinya dirinya sadar akan pertanda itu. Pertanda bahwa waktunya tidak lama lagi. Pertanda bahwa selang tiga jam dari status tersebut, dia telah pergi dari dunia ini. Dunia yang katanya adalah fana.

Tanpa Nia sadari, Ansar yang kini tak berbentuk, tak terdiri dari unsur tanah maupun air, tengah menangis pula di belakangnya. Tangisnya tak mengeluarkan suara, karena dia tak lagi dapat meniupkan angin melalui lidahnya. Tangisnya tak lagi menjatuhkan air mata, karena dia tak lagi memiliki unsur air. Karena seluruh jasadnya telah terkubur, yang tersisa kini hanyalah arwah yang sedang menunggu tercukupinya sisa waktunya.

Nia yang menangis karena merasa belum cukup untuk membahagiakan pacarnya yang belum sebulan jadian. Masih terlalu banyak yang hendak dia persembahkan pada Ansar sebagai oleh-oleh untuk Ansar bawa ke dunia lain. Masih belum cukup senyum di bibir Ansar yang hendak dia ukir. Semuanya terlalu cepat. Sekiranya dia bisa mengulang waktu, hanya satu yang ingin dia lakukan. Memeluk Ansar dengan erat. meluapkan seluruh cintanya melalui pelukan. Memeluknya seolah mereka satu tubuh yang tak terpisah.

Di belakang Nia, Ansar pun menangis lebih lirih, karena dia telah membuat luka pada hati Nia. Dia telah berjanji ketika dia masih menyatu dengan jasad, tidak akan membuat nia menitikkan air mata. Senyum Nia terlalu indah untuk di nodai dengan air mata. Kini dia melanggar janjinya. tanpa dayanya, Nia telah menangis dengan penuh kepiluan. “ya Tuhan, sekiranya Kamu memberiku tenggat waktu untuk membahagiakannya, ingin kupeluk dia agar dia tahu seluruh isi hatiku”

“halo” Nia menyapa duluan Anto, teman kampus Nia dan Ansar.

halo” Anto menjawab dengan nada tergesa-gesa diburu oleh semangat yang tidak bisa dikontrolnya.

“kenapa, Anto?”

“pembunuh Ansar telah di tangkap oleh polisi”

“alhamdulillah, semoga dia di hukum seberat-beratnya, btw siapa pelakunya?”

“kamu kenal dia” Anto terdiam sejenak, agak berat untuk melanjutkan atau mungkin bingung merangkai kata yang tepat. Takut membuat Nia bertambah shock.

“dia Rudi” Anto akhirnya melanjutkan kalimat yang begitu berat dia lengkapkan.

“hah... bajingan dia! Semoga dia mampus di penjara” Nia menyumpahi Rudi yang begitu dia benci.

Rudi adalah manatan pacar Nia. Mereka menjalin ikatan cinta selama 2 tahun. Cinta yang awalnya begitu indah di hati Nia. Namun karena perangai kasar Rudi, secara perlahan rasa bahagia itu pudar. Bunga-bunga yang tadinya bermekaran perlahan layu dan membusuk. Namun Nia tetap berusaha menjaga komitmen. Meski tidak seindah yang ia harapkan, namun rasa cinta yang dia miliki pada Rudi membuatnya mempertahankan hubungannya. Hingga akhirnya sekitar 2 bulan yang lalu, karena sikap possesive Rudi yang melarang Nia untuk keluar jalan-jalan bersama teman-temannya, tak diindahkan oleh Nia, akhirnya Rudi naik pitam dan memukuli Nia. Pukulan telak yang menyebabkan lebam di pipi Nia itupun menandai berakhirnya hubungan mereka. Sebuah pilihan berat bagi Nia untuk mengakhiri hubungan yang telah begitu banyak menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan pengorbanan. Lalu kemudian harus sia-sia.

Nia sempat berpikir bahwa setelah kata putus itu terucap, maka kehidupan baru pun menanti tanpa ada bayang-bayang masa lalu mengungkit. Namun kini dia hadapi sebuah kenyataan, ternyata kisahnya dengan rudi tak sampai di situ. Rudi masih tetap mengitari kisah hidupnya. Bahkan Nia harus menghadapi kenyataan bahwa kata putus yang dia lontarkan menjadi penyebab kematian pria yang telah mengisi kekosongan hatinya, menghiasi dengan indahnya ruang hati yang sempat begitu kelam.

“Nia, itu tidak benar. Jangan percaya” Ansar yang mendengar peracakapan Nia dan Anto melalui telepon berusaha menjelaskan pada Nia. Namun tak digubris oleh Nia yang Inderanya tak mampu menangkap suara arwah. Mereka berada pada dimensi yang berbeda yang tidak mungkin suara itu sampai pada Nia. Atau mungkin, gelombang suara Ansar yang terlalu unik untuk diterima oleh telinga manusia.

“Nia, kamu tidak apa kan?” Anto mencoba bertanya pada Nia yang sedari tadi terdiam terpaku

tidak apa, Anto”

“besok kamu mau saya antar ke acara taksiyah di rumah Ansar?”

“iya boleh, makasih atas perhatian kamu, Anto. Kamu adalah sahabat aku yang paling baik. Kamu selalu ada di saat aku butuh”

Selama kematian Ansar, Anto lah yang hampir setiap saat berada di samping Nia. Anto lah yang rela menjadi ojek tetap bagi Nia kemana pun Nia ingikan. Anto lah yang menjadi pendengar setia setiap curahan hati Nia. Mendengar keluh kesahnya. Mendengar penyesalannya. Mengobati luka hatinya.

“tidak apa, aku ikhlas kok. Sebelumnya aku mau minta maaf, mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi ada yang ingin aku sampaikan”

“apa itu?” tanya Nia penasaran.

“sejujurnya, aku melakukan semua ini karena aku cinta sama kamu”

“makasih, Anto. Tapi aku belum berpikir untuk pacaran dulu. Aku masih trauma dengan dua hubungan terakhirku. Lagian aku mau mastiin si Rudi di hukum seberat-beratnya. Jangan sampai dia lepas. Kamu bisa saja jadi korban keduanya” jawab Nia menolak secara halus suguhan cinta yang ditawarkan oleh Anto, sambil senyum tersungging di bibirnya. Kegundahan Nia terobati, walaupun tidak seluruhnya. Dia masih terus terpikirkan oleh kematian Ansar yang begitu tragis.

“Nia, jangan percaya dia. Dia bohong. Dialah yang membunuhku” teriak Ansar yang tidak terdengar oleh Nia.

***

kegundahan hati Nia pun telah terkubur seiring membusuknya tubuh Ansar di liang lahat. Hati Nia kembali terhiasi bunga-bunga surga yang menyebarkan semerbak wangi kasturi. Kini Anto menjadi pangeran dalam istana hatinya. Yah hidup terus berputar, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi.

Setahun berlalu, Nia tak pernah lupa akan sepenggal kisah tentang Ansar yang pernah menghiasi hidupnya. Namun kenangan itu, tak sedikitpun mengurangi porsi cintanya untuk tambatan hatinya yang baru, Anto. Ada ruang khusus yang untuk Anto di Istana hatinya. Sementara Ansar menempati sebuah ruang kenangan yang hanya perlu di ingat, bukan untuk mengisi seluruh ruang hatinya.

Setahun berlalu, arwah Ansar masih tidak pernah sekalipun mengikhlaskan dunia. Dendam pada Anto kian menggunung, mengalahkan kesadarannya bahwa dunia yang dia pijaki bukan lagi untuk dirinya. Dia sudah tak punya kuasa untuk merubah apapun di dunia ini. Tak ada lagi kuasa setelah dia terlepas dari jasad. Dia hanya jadi penonton dari dunia yang penuh kepalsuan dan ketidakadilan.

Hingga akhirnya, Ansar pun menyerah. Dia menyerahkan segala kepalsuan dan ketidakadilan dunia pada Tuhan. Biarlah pengadilan Tuhan yang menegakkan keadilan, jika memang pengadilan itu ada. Pintu ke dunia lain masih terbuka, menanti keikhlasan Ansar meninggalkan dunia ini.

“Selamat tinggal dunia, aku tak pernah menyesali pernah melaluimu. Walau banyak luka yang kudapati darimu, namun tidak sedikit senyum yang kau berikan. Meski masih banyak hal yang membuatku merasa perlu untuk tetap tinggal padamu, namun aku sadar waktuku telah habis”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun