Mohon tunggu...
Muhammad Ikrimah
Muhammad Ikrimah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

masih belajar untuk jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kutukan Serikat

9 Desember 2013   06:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:09 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam menggulita tanpa pelita menggantung di langit. Sinar sabit yang tipis tak mampu menembus arak-arakan awan tipis melayang-layang menutupi bumi. Tak ada butiran air berjatuhan, hanya kumpulan uap di langit tengah mengumpulkan energi yang entah kapan akan membasahi bumi. September 1982, hujan masih enggan mengguyur. Membiarkan tanah kering kelontang. Sawah tadah hujan menganggur tanpa tahu harus berbuat apa.

Saldi berjalan sendiri menyusuri lorong sempit menuju rumah pamannya yang merupakan tempat dia menumpang. Sebuah rumah kecil semi permanen berdinding seng. Rumah yang terdiri dari dua kamar tidur. Satu kamar untuk paman dan tantenya, sedangkan satu kamar lagi ditinggali oleh Saldi dan sepupunya Alam yang baru berumur 16 tahun yang merupakan anak tunggal dari paman dan tantenya.

Sebagai orang yang menumpang, Saldi tidak mau membebani paman dan tantenya, sehingga dia menghabiskan waktunya dari sore hingga malam di sebuah rumah makan sebagai pelayan. Sedangkan pagi hingga siang dia manfaatkan untuk kuliah demi mengejar masa depannya. Dia kuliah di fakultas ekonomi sebuah perguruan tinggi swasta yang menawarkan pembayaran per semester yang tergolong murah. Walaupun kecerdasannya memungkinkan dia kuliah di perguruan tinggi yang bonafit, namun dia enggan karena terkendala masalah finansial.

Belum sampai di depan rumahnya, Saldi terkejut menatap liuk-liukan lidah api dikejauhan. Diperkirakannya lidah api itu menari-nari di atap rumahnya. Seketika lututnya bergetar, melemaskan seluruh persendian tubuhnya. Sebuah bayangan masa lalu yang memilukan yang setelah sekian lama berupaya untuk dilupakannya kembali menghantam ingatannya. Memenuhi seluruh ruang memori di otaknya.

Saldi terbawa pada kejadian 17 tahun silam. Ketika itu dia baru berumur 7 tahun. Sepulang dari masjid untuk belajar mengaji. Langit teramat gelap, tanpa mampu membiaskan sedikitpun cahaya pada jalan yang dilaluinya. Hanya seberkas cahaya dari obor yang digenggamnya yang menuntunnya untuk menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

Namun begitu terkejutnya Saldi ketika dia melihat lidah api meliuk-liuk dari atap rumahnya. Dia berlari sekencang-kencangnya menuju rumahnya. Tetapi tiba-tiba saja sebuah tangan lembut seorang perempuan dewasa memeluknya. Menahan langkah-langkah kecil si Saldi kecil.

“Rumahku! Rumahku terbakar!” teriak Saldi sambil menunjuk ke arah rumah yang telah dipenuhi amukan si jago merah.

Dengan sigap, tangan lembut itu menutup mulut si Saldi kecil. Kucuran air mata mengalir di pipi perempuan rupawan tersebut.

“Diam, nak. Jangan bersuara.” bisik perempuan tersebut di telinga Saldi.

Saldi terus merontah berusaha melepas pelukan perempuan tersebut. Namun tubuhnya yang terlalu kecil tak mampu mengalahkan energi seorang perempuan dewasa. Walau tak mampu untuk melepaskan diri, Saldi terus dan terus merontah. Dia baru mengurangi intensitas rontahannya ketika menyadari bahwa perempuan yang memeluknya adalah Ratna. Adik dari ibunya.

“jangan bersuara, nak” bisik Ratna sambil tetap menutup mulut Saldi dengan telapak tangannya. Air matanya terus mengalir meratapi nasib ditengah ketegangan yang menderanya.

seorang pria dengan langkah lunglai berusaha berlari secepat yang dia mampu ke arah Saldi. Ditengah rasa sakit akibat beberapa luka sabetan parang di tubuhnya, dia masih terus berlari. Di belakangnya juga ikut ratusan manusia-manusia beringas yang membawa parang dan obor mengejar pria tersebut. Dan sekali lagi tebasan parang mengenai kepala bagian belakang pria tersebut yang menyebabkan tubuh pria tersebut rubuh dalam posisi tengkurap mencium tanah. Masih sempat dia mengangkat wajahnya. Dia tatapi mata Saldi yang berada dalam pelukan Ratna dengan jarak sepuluh meter. Lalu kembali parang menebas punggungnya hingga membuat tubuhnya terangkat sedikit dan merampas sisa nyawa yang tadinya masih bertengger di tubuh tak berdaya tersebut.

Mata Saldi terbelalak tak percaya. Ayahnya meregang nyawa di depan matanya. Kembali tubuhnya berontak sekuat tenaga, namun pelukan Ratna semakin kuat. Saldi pun teriak sekencang-kencangnya. Namun teriakannya tak terdengar tertutupi telapak tangan Ratna yang juga semakin kuat menyumpal mulut Saldi. Saldi dan Ratna hanya mampu menangis tanpa suara. Menyaksikan semua itu.

Pada malam tersebut, kedua orang tua Saldi meninggal. Sejak saat itu pula, Saldi diasuh oleh Ratna. Saldi tumbuh menjadi manusia pendendam. Dendam pada kecongkakan orang-orang yang mengaku beragama namun beringas seolah tak pernah mengenal agama. Dendam menggerogoti seluruh aliran darahnya. Setiap detak jantungnya mendendangkan pembalasan. Walau di benaknya tak dia temukan objek konkret yang menjadi objek dendamnya. Karena tak satupun dari yang membunuh ayahnya yang mampu dia kenali. Sehingga dia hanya mampu menyimpan dendam tersebut tanpa mungkin merealisasikan sebuah pembalasan.

Dendam tersebut akhirnya menguap ketika Saldi menjadi mahasiswa. Seorang mahasiswi telah mengetuk pintu hatinya untuk memberi maaf pada segala penindasan yang dia dan keluarganya alami. Maaf yang berarti melepaskan cengkeraman dendam yang menindas dirinya. “yah, memang benar. Dendam dan kebencian inilah yang selama ini menindas dan memenjarakan diri dan jiwaku.” Pikir Saldi.

***

Tidak seperti Saldi kecil yang seketika berlari ketika melihat rumahnya terbakar, kini dia hanya mampu berdiri lemas tanpa mampu bergerak. Trauma masa kecilnya kembali meluap dari alam bawah sadarnya. Trauma yang telah sempat terkubur, kini tumbuh merekah kembali.

“Saldi, ayo cepat pergi.” panggil Alam yang tengah berlari sambil menarik tangan Saldi. Di matanya nampak jelas sebuah kekalutan yang amat dalam.

“Ada apa, Alam?” tanya Saldi yang dipenuhi pertanyaan di benaknya.

“Mereka membakar rumah kita.” Jawab Alam dengan nafas yang tersengal-sengal. Matanya menyimpan duka. Ada genangan air yang melekat di bola matanya.

“Mana om dan tante?” kembali Saldi melontarkan pertanyaan pada adik sepupunya.

“Saya tidak tahu. Pokoknya kita harus bersembunyi. Mereka mencari kita”

“Siapa mereka? Kenapa mereka mengejar kita?”

“Saya tidak tahu mereka dari mana. Saya hanya mendengar suara salah satu dari mereka yang berteriak bahwa kita tidak beragama dan kita telah membunuh beberapa jenderal. Saya juga bingung.”

Sambil berlari, Saldi terheran dengan tuduhan bahwa mereka tak beragama dan membunuh beberapa jenderal. Dia tahu pasti bahwa yang mereka maksud adalah beberapa orang yang tergabung dalam PKI yang Atheis dan telah membunuh beberapa jenderal.

“apa hubungannya dengan kami? Bukankah sanksi hukum hanya diberlakukan pada pelaku pelanggar hukum saja? Seperti halnya ketika seorang muslim membunuh seorang nasrani. Apakah semua orang muslim harus di hukum? Kalaupun harus dihukum, kenapa tidak menggunakan hukum positif? Bukankah Indonesia adalah negara hukum yang tidak membenarkan main hakim sendiri? Lalu dimana para aparat hukum ataupun keamanan? Kenapa mereka membiarkan aksi main hakim sendiri ini merajalela? Aksi main hakim sendiri yang sangat tidak adil. Belasan orang yang melakukan pembunuhan, ribuan nyawa yang harus menjadi tumbal sebagai pembalasan. Dimanakah hukum itu? Dimanakah keadilan itu?” pertanyaan-pertanyaan tersebut memenuhi pikiran Saldi yang tengah berlari mencari perlindungan. Dia hanya mampu untuk terus berlari dan bersembunyi. Dia tak memiliki kemampuan untuk berteriak lantang meminta keadilan. Karena ketika dia meminta keadilan, bisa dipastikan bahwa dia hanya akan menjadi korban ketidakadilan berikutnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun