Teknik testimonial kini tak lagi mengandalkan otoritas atau orang terkenal. Di media sosial, testimonial dapat diberikan oleh siapa saja dalam jaringan kita, bisa jadi keluarga, teman, kolega atau orang yang baru saja kita kenal. Persuasi dengan teknik testimonials di media sosial lebih sulit untuk dihindari dan ditolak karena disebarkan oleh teman dekat atau keluarga, yang jika kita konfrontasi dapat berpotensi merusak hubungan personal yang sudah ada.
Modifikasi teknik plain folks dilakukan dengan menggunakan akun dan followers palsu untuk menciptakan dan menyebarkan pesan sehingga terlihat popular, menjadi viral, atau bahkan trending topic. James Webster (2014) dalam bukunya ‘The Marketplace of Attention’, mengatakan bahwa atensi di media baru diciptakan oleh pesan itu sendiri dan oleh struktur. Para akun dan followers palsu dibuat untuk menciptakan struktur yang nantinya akan diklaim oleh propagandis sebagai “dukungan publik”. Pada kampanye pilpres dan juga pilkada yang lalu, para kandidat yang bertarung menggunakan “pasukan media sosial” untuk menciptakan trending topic di Twitter. Seringkali, isu yang menjadi tren tidak jelas, namun mendaptkan perhatian besar dari masyarakat semata-mata hanya karena sedang “tren”. Kemudian, para politisi akan mengklaim bahwa mereka mendapatkan dukungan publik dengan mengacu ke media sosial.
Selanjutnya, adalah teknik card stacking yang merupakan teknik yang paling banyak digunakan di media sosial. Internet menyediakan sumber informasi yang tak terbatas, beragam, dan gratis, meski tidak semuanya benar atau sudah dipelintir. Bagi kebanyakan orang, media sosial adalah tempat dimana mereka ikut menyebarkan pesan tanpa mengecek kebenarannya. Banyak yang ikut menyebarkan tautan, gambar, video, dan berita bahkan tanpa membaca atau menontonnya lebih dulu. Modifikasi lain dari teknik ini adalah menggunakan data statistik atau angka yang menyesatkan. Angka-angka atau data statistik seringkali disingkat dan dibuat grafis yang menarik, tanpa ada penjelasan mengenai metode riset atau polling dan validitasnya.
Teknik bandwagon dimodikasi dengan penggunaan akun palsu untuk menciptkan viral. Selain itu, persuasi untuk bergabung dengan massa dinyatakan dengan pesan ajakan memberi jempol dan memantulkannya di jaringan pribadi. Kata-kata seperti “like” pesan ini jika anda peduli atau “bagikan ini dan lihatlah keajaiban dari Tuhan dalam hidupmu setelah membagi informasi ini” biasanya dijumpai pada teknik bandwagon.
Pada akhirnya, ketujuh teknik propaganda di era Perang Dunia II masih terdapat di media sosial saat ini. Selain ketujuh teknik tadi, karakteristik media sosial—seperti interaktivitas, multimedia, dan keterhubungan—membuat propaganda saat ini berbeda dengan propaganda era Perang Dunia II yang mengandalkan media massa. Jaringan di media sosial dapat meningkatkan jumlah media untuk menyebarkan pesan dengan biaya yang lebih murah. Interaktivitas melalui menu komentar memberikan ruang yang lebih luas bagi propaganda. Jangan lupa, pesan bukan semata status atau tweet yang seseorang tulis, namun diskusi di menu komen juga menjadi bagian dari sebuah pesan. Karakter multimedia memberikan ruang lebih bagi visual dan lebih sedikit untuk pesan tertulis, yang nantinya membuka ruang untuk pengaburan fakta dan pesan, sehingga lebih mudah menciptakan dan menyebarkan kebencian pada pihak lawan. Media sosial dengan ruang lebih sempit, seperti Twitter, berpotensi digunakan untuk mengirim pesan yang singkat, kuat, berwarna dan mengesankan untuk mendapatkan atensi penggunanya.
Meski kehadiran propagandis tidak mudah dideteksi dan selalu ada, kita masih bisa menghindari untuk tidak terjebak di dalam propaganda mereka. Caranya adalah dengan tidak mudah menghakimi dan memberi label pada sebuah ide, seseorang, atau organisasi. Jadilah orang yang awas dengan prasangka diri sendiri. Jangan mudah memberi penilaian terhadap sesuatu hingga kita mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan dapat menganalisisnya dengan lebih baik. Berpikirlah dua, tiga, empat, lima kali sebelum menyebarkan sebuah pesan di media sosial.
Ika Karlina Idris.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. Mahasiswa Program Doktor di Ohio University, AS.
Tulisan ini dimuat di Kompas,23 Maret 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H