Mohon tunggu...
Ikon Sauki
Ikon Sauki Mohon Tunggu... Desainer - Mahasiswa UIN Khas Jember

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Hubungan Perilaku Mom Shaming dengan Parenting Self- Efficacy Ibu

26 Agustus 2024   03:04 Diperbarui: 26 Agustus 2024   03:06 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perundungan atau bullying tidak hanya menargetkan anak atau remaja, tetapi juga ibu-baik yang baru maupun yang sudah lama menjadi ibu. Istilah "mom shaming" merujuk pada tindakan memermalukan, menyindir, atau menghakimi ibu secara sepihak. Menurut Nancy Kenney, Ph.D., profesor di University of Washington Department of Gender, Women & Sexuality Studies, mom shaming adalah bentuk kritik yang bertujuan untuk mengontrol bagaimana ibu seharusnya menjalankan peran mereka. Mom shaming sering kali mencerminkan sikap mengkritik yang bertujuan mempermalukan ibu dengan menunjukkan bahwa gaya pengasuhan mereka tidak sesuai dengan standar yang dianggap ideal. Pengkritik sering kali membandingkan gaya pengasuhan mereka yang dianggap lebih baik dengan cara pengasuhan ibu yang mereka kritik.

Mom shaming menimbulkan pertanyaan tentang gaya pengasuhan dan dapat menyudutkan ibu ketika perilaku anak atau cara pengasuhan mereka tidak sesuai dengan standar, budaya, atau kebiasaan di lingkungan sekitar. Berbeda dengan bentuk kritik lainnya, mom shaming khusus menargetkan aspek yang berkaitan erat dengan harga diri seorang wanita. Dalam masyarakat saat ini, standar pengasuhan seringkali jauh lebih tinggi untuk wanita dibandingkan pria, sehingga ibu sering menjadi sasaran cemoohan sementara ayah cenderung mendapatkan perlakuan yang lebih lunak untuk keputusan pengasuhan yang sama.

Mom shaming dapat dikategorikan dalam enam dimensi: disiplin anak, kebiasaan tidur anak, pemenuhan nutrisi anak, keamanan anak, perawatan anak, dan sumber mom shaming. Pada dimensi disiplin anak, mom shaming sering muncul ketika ibu mendapat kritik mengenai cara mereka mendisiplinkan anak, termasuk cara mengajarkan disiplin dan memberikan hukuman. Misalnya, di Jakarta Selatan, penggunaan gawai untuk meredakan tangisan anak sering kali dianggap standar, sehingga ibu yang tidak memberikannya sering mendapat kritik.

Menurut penelitian oleh Aisyah (2018), di Jakarta Selatan, sekitar 80% anak menggunakan gadget, dan 82% orang tua melaporkan bahwa anak mereka online setidaknya sekali seminggu. Oleh karena itu, ibu yang tidak memberikan gawai kepada anak seringkali dikritik oleh lingkungan karena dianggap tidak mengikuti standar masyarakat.

Ilustrasi gambar (I-Stockphoto)
Ilustrasi gambar (I-Stockphoto)

Responden dalam studi ini melaporkan bahwa dukungan untuk memberikan gawai kepada anak sering datang dari keluarga dan masyarakat. Kalimat seperti "udah gapapa kasih aja dari pada anaknya nangis" sering kali menekan ibu untuk memberikan gawai, meskipun ibu merasa hal tersebut tidak sesuai untuk perkembangan anak.

Disiplin anak yang berbeda-beda tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai keberhasilan seorang ibu. Penelitian oleh Zakiyah (2017) menunjukkan bahwa kemarahan orang tua dapat mempengaruhi perilaku anak. Cara mendisiplinkan anak yang lembut cenderung lebih efektif dibandingkan dengan berteriak atau menggunakan kata-kata kasar.

Dimensi mom shaming terkait kebiasaan tidur anak juga menunjukkan kategori tinggi. Ibu sering dikritik terkait durasi tidur anak yang dianggap terlalu lama atau pola tidur yang tidak sesuai dengan standar. Padahal, setiap anak memiliki kebutuhan tidur yang berbeda berdasarkan usia. Rekomendasi dari Halodoc menyarankan durasi tidur sesuai dengan usia anak, sehingga komentar negatif mengenai durasi tidur tidak selalu relevan.

Pada dimensi pemenuhan nutrisi, ibu sering dipermalukan karena pilihan makanan atau jenis MPASI yang diberikan kepada anak. Pemberian MPASI seharusnya dilakukan setelah usia 6 bulan, sesuai dengan rekomendasi IDAI dan WHO. Namun, ibu sering mendapat kritik jika pilihan MPASI mereka tidak sesuai dengan standar masyarakat.

Dimensi keamanan anak juga menjadi sasaran mom shaming. Ibu sering dikritik ketika anaknya mengalami luka fisik, meskipun ibu telah memberikan pengawasan. Penelitian menunjukkan bahwa ibu sering disalahkan atas luka fisik pada anak, meskipun hal tersebut seringkali tidak dapat dihindari.

Mom shaming terhadap perawatan anak juga mencakup kritik terhadap produk perawatan, merek, dan fasilitas anak. Kritik sering kali muncul terkait pemilihan produk perawatan kulit, dengan banyak ibu merasa terlalu protective terhadap anak mereka. Menurut Royal Children's Hospital Melbourne, pemilihan produk yang sesuai sangat penting untuk mencegah iritasi pada kulit bayi (Faradila, 2022).

Dimensi terakhir adalah sumber mom shaming. Penelitian menunjukkan bahwa kritik sering datang dari keluarga terdekat, seperti pasangan atau mertua, daripada teman atau masyarakat umum. Menurut The C.S. Mott Children's Hospital National Poll on Children's Health (2017), 61% ibu melaporkan mendapat kritik dari keluarga terdekat, dengan pasangan dan mertua menjadi sumber utama kritik.

Mom shaming dapat terjadi baik secara langsung maupun melalui media sosial, dan memiliki dampak negatif pada ibu, seperti penurunan kepercayaan diri, depresi, dan baby blues syndrome. Penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif antara mom shaming dan parenting self-efficacy, dengan hasil uji korelasi spearman rank menunjukkan nilai 0,007 0,05. Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi perilaku mom shaming, semakin rendah parenting self-efficacy ibu, dengan tingkat kekuatan hubungan sebesar -0.269 yang menunjukkan korelasi cukup kuat dan negatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun