Mohon tunggu...
Ikmi Nur Oktavianti
Ikmi Nur Oktavianti Mohon Tunggu... -

Pembelajar Linguistik yang menyukai bahasa Melayu, membaca sejarah, dan mengagumi masa lalu.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jadilah "Truk Sampah" dan "Tempat Pembuangan Sampah" yang Baik

24 Maret 2012   11:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:32 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Jumat kemarin bagi sebagian orang mungkin menjadi hari yang menyenangkan karena dimulainya libur akhir pekan, sebagian lainnya menganggapnya sebagai hari sakral keagamaan. Apapun, intinya adalah hari yang membahagiakan. Berbeda dengan kebanyakan, bagi saya hari Jumat kemarin tidak terlalu istimewa. Setelah hampir melalui setengah hari dengando nothing,saya mengobrol dengan seorang kawan melalui akun Facebook. Dia iseng-iseng memberi saya link yang menceritakan tentang "Law of Garbage Truck". Saya pun membacanya dengan seksama. Di sana diceritakan bahwa manusia dapat diibaratkan sebagai truk sampah. Seperti halnya truk sampah yang membawa muatan sampah, manusia membawa beban-beban masalah, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan pada dirinya. Dan seperti halnya truk sampah yang perlu rutin membuang muatan sampahnya ketika penuh, tentu "sampah-sampah" pada diri manusia tersebut juga perlu rutin dibuang. Jika truk sampah membuang sampah pada tempat pembuangan sampah, maka manusia mempunyai kecenderungan membuang sampahnya pada orang lain. Misalnya saja ketika sedang mengemudi di jalan dan ada seseorang yang dengan tanpa rasa bersalahnya menyerobot dan anehnya malah memaki-maki kita. Kemungkinan beban sampah orang itu sudah penuh atau berlebihan dan kita lah yang menjadi tempat pembuangannya.  Lalu apa tanggapan kita? Menurut Law of Garbage Truck,

As their garbage pile up, they need a place to dump it. If you let them, they’ll dump it on you. When someone wants to dump on you, don’t take it personally. You just smile, wave, wish them well, and move on. You’ll be happy you did.

Oleh sebab itu, yang dapat kita lakukan adalah tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati, tersenyum, merespon dengan baik, mendoakan mereka agar membaik dan kembali menjalani kehidupan. Dengan memiliki kebesaran hati (untuk menjadi tempat pembuangan) semacam itu, kita bisa merasa bahagia dan “berguna”.

Begitulah "ajaran" yang saya dapat sewaktu membacanya. Menarik. Manusia di sekitar kita juga diumpakan yang sama, sebagai truk sampah. Yang membedakan pada masing-masing truk adalah banyaknya muatan. Ada yg hanya sedikit, ada yang penuh, ada yang kelebihan muatan, dan ada juga yang kosong (karena baru saja dibuang, hehe). Selain menjadi truk sampah, manusia di sekitar kita bisa juga menjadi sasaran pembuangan sampah dari orang-orang kurang bertanggung jawab (dan kurang keren!). Maka ada dua sudut pandang yang menarik untuk diamati selanjutnya, yakni si “truk sampah” dan si “tempat pembuangan sampah”.

Yang pertama, ketika kita menjadi truk sampah yang sudah waktunya membuang muatan. Apakah kita akan membuang muatan kita sembarangan? Menurut saya, jika kita menjadi truk sampah, jadilah truk sampah yang baik. Buanglah pada tempat pembuangan yang sesuai, bukan tempat pembuangan terdekat. Maksudnya? Tempat pembuangan yang terdekat tidak memperdulikan apakah tempat itu memang cocok untuk sampah, yang penting “asal keluar” saja beban-bebannya. Nah, inilah fenomena yang acapkali dijumpai. Banyak orang ugal-ugalan di jalan atau tawuran tidak jelas. Bentuk dari pembuangan"sampah" tidak pada tempatnya. Contoh lain yang sederhana adalah perlakuan kurang menyenangkan dari rekan kerja atau teman sekelas hanya karena merasa iri. Bukankah lebih baik kita membuang sampah berupa beban hidup pada tempat yang seharusnya. Misalnya bagi yang suka menulis, bisa menulis semua keluh-kesah dan apa yang sedang berkecamuk di pikiran. Bagi yang suka berolahraga, bisa puas berolahraga. Selain lega, tubuh juga sehat. Jika analogi truk sampah diterapkan pada kasus saya saat ini, pas sekali. Ibaratnya saya seperti truk sampah kelebihan muatan. Begitu banyak ketakutan dan kecemasan, dan saya tidak punya tempat untuk membuangnya (atau barangkali tidak tahu mau dibuang ke mana). Tapi karena sudah membaca  dan memahami Law of Garbage Truck itu, saya jadi berpikir ulang jika ingin membuang muatan saya sembarangan ke orang lain. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membuang sampah-sampah saya dengan menulis puisi. Menulis puisi adalah aktivitas yang sudah saya tinggalkan setahun belakangan karena tidak ada kesedihan yang bisa saya rekam dan tuliskan kembali. Saat kemarin saya sempat sedih luar biasa, saya pun bisa menulis puisi dengan cukup lancar (setelah setahun susah sekali melakukannya), meskipun puisi abal-abal. Setidaknya pembuangan sampah saya tidak memakan “korban”.  See, ternyata membuang sampah pun bisa dilakukan dengan cara yang keren.  :)

Nah, sudut pandang selanjutnya adalah si “tempat pembuangan”. Kalau saja nasib buruk sedang berpihak dan kita mendadak menjadi tempat pembuangan sampah (misal si bos di kantor atau pasangan di rumah), usahakan untuk jadi tempat pembuangan sampah yang baik. Tempat pembuangan sampah yang baik akan selalu menampung sampah-sampah. Demikian pula pada manusia yang jadi tempat pembuangan yang baik. Seperti yang tadi disebutkan dalam Law of Garbage Truck:

When someone wants to dump on you, don’t take it personally. You just smile, wave, wish them well, and move on.

Jika di pagi hari kita sudah kena omel si bos atau pasangan karena hal sepele, jadilah penerima omelan yang baik. Jika kita menerima perlakuan kurang menyenangkan dari teman sekantor atau teman sekelas, mari berusaha legowo. Senyum. Kalau perlu merespon, respon dengan baik dan nada biasa. Atau cukup didengarkan dengan baik. Lalu, doakan agar mereka bisa segera membaik dan kita pun melanjutkan hidup. Memang tidak mudah. Tapi, dengan belajar bersikap demikian, hidup ini akan jadi lebih indah. Lagipula, seperti pepatah lama, mengalah bukan berarti kalah.

Sedikit cerita soal menjadi tempat pembuangan sampah, saya pernah kena umpatan seseorang ketika sedang mengendarai motor di salah satu kota di Jawa Timur. Waktu itu motor saya kendarai dengan kecepatan standard. Tiba-tiba seorang supir angkot menghentikan angkotnya seenak perut, di badan jalan. Tanpa rasa bersalah dia keluar dari angkotnya, hendak menyebrang. Saya kaget dan nyaris menabraknya. Dan apa? Saya kena umpatan ala jawatimuran, hehehe. Saat itu saya kesal luar biasa. Sepanjang sisa perjalanan, saya tidak berhenti ngedumel. Sekarang kalau saya ingat-ingat lagi peristiwa tersebut, saya agak menyesal. Seharusnya waktu itu saya relakan saja diri saya kena umpatan. Barangkali muatan "sampah" supir angkot itu sudah penuh atau membludak dan saya lah yang "beruntung" menjadi tempat pembuangannya, hehehe. Sebenarnya lumayan, itung-itung dapat pahala karena sudah “berjasa”. Tapi karena waktu itu saya dongkol, saya tidak dapat apa-apa.

Kisah lainnya, saya pernah mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari teman-teman sekelas. Berbulan-bulan memendam, saya pun tidak tahan lagi. Akhirnya saya mengeluarkan kemarahan saya. Tapi hanya sebentar saja. Setelah itu, saya merasa bodoh. Saya gagal menjadi tempat pembuangan sampah  yang baik untuk teman-teman di kelas saya (yang bersikap tidak menyenangkan tadi). Seharusnya saya lebih bisa legowo dan menganggap diri saya sebagai orang yang “berguna” karena setidaknya sudah menyenangkan hati teman-teman yang kurang baik itu (ya, barangkali dengan “menyiksa” orang lain, mereka merasa lebih lega dan ringan). Parahnya, saya bahkan sudah menjadi truk sampah yang tidak baik (dengan marah-marah). Akhirnya saya sadar, saya tidak perlu terlalu mengambil hati atas tindakan mereka. Setelah beberapa bulan berlalu dengan menjadi pembuangan sampah yang baik, hidup saya lebih tenang dan damai. Tanpa perlu kita minta, Tuhan pun memberi balasan dengan caraNya sendiri. Tuhan memang selalu bekerja dengan caraNya sendiri kok, jadi tidak usah khawatir.  :)

Ketika melakukan pengamatan untuk tulisan ini, saya pun membayangkan, bagaimana jika kita asal buang sampah dan ternyata yang menjadi tempat pembuangan sampah kita adalah tempat pembuangan sampah yang sudah penuh, bisa dibayangkan betapa menderitanya orang yang menampung sampah-sampah itu. Atau jika kita (lagi-lagi) asal buang sampah dan yang menjadi tempat pembuangan sampah kita ternyata truk sampah dengan kapasitas berlebihan juga, apa jadinya ya? Bacok-bacokkan? Hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun