Perjalanan hidup adalah sesuatu yang tidak bisa kita terka-terka. Banyak sekali kejutan yang kita dapati dalam setiap fase perjalanannya. Mungkin kerap kali kita mendengar kalimat "Manusia berencana, Tuhanlah yang menentukkan". Â Garis besar tersebut tidak bisa kita bantahkan, jika secara sepenuhnya kita memercayai konsep dalam kalimat tersebut. Namun, sisi lain manusia yang diberikan akal untuk berpikir, memahami rangkaian perjalanan hidup ini sebagai sebuah kompleksitas dan cenderung rumit.
Sepanjang perjalanan hidupnya, manusia selalu mempunyai rencana untuk hidup berdasar apa yang mereka rancang, mendapatkan ini, mencapai ini itu dan lain sebagainya. Semua orang memiliki tujuan yang sama, mencari kebahagiaan, kedamaian, tidak hidup dalam penyesalan, serta memiliki kebebasan. Tiga hal itulah yang menjadi tujuan kita harus hidup dan memulai optimisme untuk menapaki jalan hidup masing-masing.
Apa itu jalan hidup? Bagaimana dan dari mana kita memulainya? Kutipan kalimat "kita hidup untuk diri kita" dapat menjadi sebuah langkah awal yang kita bisa pahami, bahwa diri kitalah yang menentukkan jalan hidup bagi kita sendiri. Jika pertanyaan tentang kapan, maka jalan itu dimulai ketika kita mampu berpikir secara matang. Tidak selalu terpautkan usia ataupun ketika beranjak dalam fase dewasa. Sebab, bisa jadi cara berpikir itu ada saat anak-anak, karena saat masa kanak-kanakpun kita telah menyadari situasi pilihan diantara benar dan salah.
Kita selalu berandai-andai terhadap semua yang kita rencanakan akan berjalan dengan lancar. Sejak kecil kita diajarkan untuk berharap, memimpikan banyak hal ke dalam suatu visualisasi di masa depan bahwa kita akan menjadi sesuatu. Semua itu terjadi karena ajaran yang diberikan kepada kita untuk selalu "mengejar" apa yang kita cari. Maka hal tersebut kemudian menjadi keharusan serta menuntut kita untuk selalu mempunyai rencana, bermimpi dan berusaha.
Namun, dalam berusaha itu, kita tidak diajarkan untuk mengantisipasi jikalau rencana yang kita hendaki tidak berjalan sesuai rencana. Jalan keluar yang diterima hanya sebatas kata-kata penyemangat untuk kita kembali pada jalan yang sesuai. Dalam fase itu, mungkin saja kita perlahan mempunyai sifat ambisius dalam mengupayakan tujuan itu, ataupun sebaliknya.Â
Sifat-sifat sebagai reaksi tersebut merupakan respon dari bentuk perilaku yang terserap dari banyaknya faktor, sehingga kita mempunyai asumsi dan respon tertentu dalam bertindak. Efek lainnya yakni menggiringkan kita menjadi pesimistis maupun optimis, jika rencana yang kita telah atur sedemikian rupa berlabuh pada tahap keberhasilan ataupun kegagalan.
Lalu, apa yang terjadi jika rencana kita menemui kegagalan? Kita akan terbawa pada 'titik terendah', lantas menarik diri dari lingkungan dan pergaulan, hingga menyalahkan diri sendiri serta orang lain. Beberapa orang bahkan menampakkan kemarahan pada Tuhan dengan menyatakan keputusasaannya. Kata motivasi seakan tidak mampu menetralkan situasi kelam yang dihadapi. Pilihannya hanya ada menerima atau tenggelam dan jauh tertinggal di dalamnya.Â
Lagi-lagi kita yang harus menentukkan pilihannya. Di lain sisi, keberhasilan yang kita peroleh mungkin saja mengubah kita menjadi orang yang berbeda. Arogan, angkuh, sombong, naif merupakan sifat-sifat manusiawi, yang mana semua manusia mempunyai itu. Bukankah manusia diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah? Maka memang sudah hakikatnya manusia bersikap sedemikian halnya, karena memang tabiat yang diberikan kepada manusia seperti itu.
Dalam konsep pilihan, semua akan dipahami sebagai konsep relativitas, maka kebenaran akan selalu bersifat objektif, bukan subjektif. Semua orang akan memiliki dalih tersendiri dan melakukan pembenaran atas tindakan juga persepsinya. Atas dasar pilihan itu, judgement menjadi cukup sentimen sebagai respon pada perilaku serta cara berpikir seseorang. Semua orang akan mengembalikan sisi subjektifitas dari objek yang dihadapkannya. Bentuk kebenaran secara mutlak telah bergeser menjadi sesuatu yang mungkin saja dianggap tidak memiliki nilai sama sekali.Â
Orang-orang cenderung menganggap hal yang diyakini secara umum benar meskipun pada dasarnya itu tidak dibenarkan. Namun, masifnya penggunaan serta persepsi terhadap hal tersebut maka konteksnya akan selalu dibenarkan. Pola perilaku masyarakat itu selalu mengikuti kebiasaan yang dilabeli sebagai kebiasaan atau 'kultur mendarah daging'. Perubahan yang disugestikan akan berjalan lambat.Â