Mohon tunggu...
Ikmal Trianto
Ikmal Trianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah mahasiswa setengah pekerja

Tukang nulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyelisik Jalan Hidup

14 Januari 2023   19:27 Diperbarui: 27 Maret 2024   01:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Freepik

Perjalanan hidup adalah sesuatu yang tidak bisa kita terka-terka. Banyak sekali kejutan yang kita dapati dalam setiap fase perjalanannya. Mungkin kerap kali kita mendengar kalimat "Manusia berencana, Tuhanlah yang menentukkan".  Garis besar tersebut tidak bisa kita bantahkan, jika secara sepenuhnya kita memercayai konsep dalam kalimat tersebut. Namun, sisi lain manusia yang diberikan akal untuk berpikir, memahami rangkaian perjalanan hidup ini sebagai sebuah kompleksitas dan cenderung rumit.

Sepanjang perjalanan hidupnya, manusia selalu mempunyai rencana untuk hidup berdasar apa yang mereka rancang, mendapatkan ini, mencapai ini itu dan lain sebagainya. Semua orang memiliki tujuan yang sama, mencari kebahagiaan, kedamaian, tidak hidup dalam penyesalan, serta memiliki kebebasan. Tiga hal itulah yang menjadi tujuan kita harus hidup dan memulai optimisme untuk menapaki jalan hidup masing-masing.

Apa itu jalan hidup? Bagaimana dan dari mana kita memulainya? Kutipan kalimat "kita hidup untuk diri kita" dapat menjadi sebuah langkah awal yang kita bisa pahami, bahwa diri kitalah yang menentukkan jalan hidup bagi kita sendiri. Jika pertanyaan tentang kapan, maka jalan itu dimulai ketika kita mampu berpikir secara matang. Tidak selalu terpautkan usia ataupun ketika beranjak dalam fase dewasa. Sebab, bisa jadi cara berpikir itu ada saat anak-anak, karena saat masa kanak-kanakpun kita telah menyadari situasi pilihan diantara benar dan salah.

Kita selalu berandai-andai terhadap semua yang kita rencanakan akan berjalan dengan lancar. Sejak kecil kita diajarkan untuk berharap, memimpikan banyak hal ke dalam suatu visualisasi di masa depan bahwa kita akan menjadi sesuatu. Semua itu terjadi karena ajaran yang diberikan kepada kita untuk selalu "mengejar" apa yang kita cari. Maka hal tersebut kemudian menjadi keharusan serta menuntut kita untuk selalu mempunyai rencana, bermimpi dan berusaha.

Namun, dalam berusaha itu, kita tidak diajarkan untuk mengantisipasi jikalau rencana yang kita hendaki tidak berjalan sesuai rencana. Jalan keluar yang diterima hanya sebatas kata-kata penyemangat untuk kita kembali pada jalan yang sesuai. Dalam fase itu, mungkin saja kita perlahan mempunyai sifat ambisius dalam mengupayakan tujuan itu, ataupun sebaliknya. 

Sifat-sifat sebagai reaksi tersebut merupakan respon dari bentuk perilaku yang terserap dari banyaknya faktor, sehingga kita mempunyai asumsi dan respon tertentu dalam bertindak. Efek lainnya yakni menggiringkan kita menjadi pesimistis maupun optimis, jika rencana yang kita telah atur sedemikian rupa berlabuh pada tahap keberhasilan ataupun kegagalan.

Lalu, apa yang terjadi jika rencana kita menemui kegagalan? Kita akan terbawa pada 'titik terendah', lantas menarik diri dari lingkungan dan pergaulan, hingga menyalahkan diri sendiri serta orang lain. Beberapa orang bahkan menampakkan kemarahan pada Tuhan dengan menyatakan keputusasaannya. Kata motivasi seakan tidak mampu menetralkan situasi kelam yang dihadapi. Pilihannya hanya ada menerima atau tenggelam dan jauh tertinggal di dalamnya. 

Lagi-lagi kita yang harus menentukkan pilihannya. Di lain sisi, keberhasilan yang kita peroleh mungkin saja mengubah kita menjadi orang yang berbeda. Arogan, angkuh, sombong, naif merupakan sifat-sifat manusiawi, yang mana semua manusia mempunyai itu. Bukankah manusia diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah? Maka memang sudah hakikatnya manusia bersikap sedemikian halnya, karena memang tabiat yang diberikan kepada manusia seperti itu.

Dalam konsep pilihan, semua akan dipahami sebagai konsep relativitas, maka kebenaran akan selalu bersifat objektif, bukan subjektif. Semua orang akan memiliki dalih tersendiri dan melakukan pembenaran atas tindakan juga persepsinya. Atas dasar pilihan itu, judgement menjadi cukup sentimen sebagai respon pada perilaku serta cara berpikir seseorang. Semua orang akan mengembalikan sisi subjektifitas dari objek yang dihadapkannya. Bentuk kebenaran secara mutlak telah bergeser menjadi sesuatu yang mungkin saja dianggap tidak memiliki nilai sama sekali. 

Orang-orang cenderung menganggap hal yang diyakini secara umum benar meskipun pada dasarnya itu tidak dibenarkan. Namun, masifnya penggunaan serta persepsi terhadap hal tersebut maka konteksnya akan selalu dibenarkan. Pola perilaku masyarakat itu selalu mengikuti kebiasaan yang dilabeli sebagai kebiasaan atau 'kultur mendarah daging'. Perubahan yang disugestikan akan berjalan lambat. 

Hasilnya, manusia akan tidak menerima sisi sosial, karena kegiatan yang terus menerus terjadi menganggu pribadi manusia. Kegiatan trending akan selalu menuntut manusia melakukan hal-hal yang tidak disukainya. Fenomena-fenomena absurd selalu menjadi pembicaraan bagi kita. Entah itu memaksa manusia untuk selalu mengikuti terus menerus atau melepaskan sebatas pembicaraan inti.

Selain 'dirundungi' oleh banyaknya hal yang tidak terkira. Perjalanan hidup akan membawa kita menyadari bahwa hal lain yang mungkin berubah adalah lingkungan pertemanan perlahan mengerucut. Saat menjadi dewasa, orang-orang akan disibukkan dengan hanya melihat jalannya masing-masing. 

Maka tak heran jika kualitas pertemanan tidak seperti masa-masa peralihan. Masa peralihan yang dimaksud yaitu, proses perkembangan pada fase transisi masa sekolah dalam kaitannya dengan pencarian jati diri. Dalam masa itu, kita akan menjelajah banyak hal, sehingga memperbanyak teman menjadi bagian dari kebutuhan sosial. Namun, hakikat dunia yang fana akan mengembalikan semua kepada jalan yang sebenarnya. Kesendirian dan kehampaan.

Jalan hidup manusia dasarnya  selalu sama, bahkan sebelum manusia pertama dilahirkan, telah dicetuskan hal yang disebut sebagai takdir. Kita menjalani rutinitas keseharian sampai menjumpai kematian. Bukankah orang tua, kakek-nenek, dan leluhur kita menjumpai hal yang sama? 

Mereka berpijak di bumi yang berotasi pada matahari sejak beribu-ribu tahun lamanya. Tidak ada yang berubah, alam berkehendak atas kuasa Tuhan. Manusia itu sendiri yang berubah, menciptakan perbedaan subtansial secara subjektif, bukan atas penilaian absolut.

Lalu apa yang kita cari di dunia ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun