Kita semua pasti sudah tidak asing dengan judul buku satu ini, ya "Filosofi Teras". Sebuah buku buah karya Henry Manampiring. Pada awalnya, buku ini menceritakan tentang emosi-emosi negatif yang kerap menghantui benak sang penulis hingga pada akhirnya beliau disadarkan pada sebuah filosofi Yunani Kuno yang sepertinya telah muncul lebih dari 2000 tahun silam lamanya, itulah Stoisisme atau filosofi Stoa. Namun, dalam hal ini pengarang lebih mengenalkan istilah Filosofi Teras pada para pembacanya. Buku pengembangan diri yang bagus dengan banyak sekali prinsip hidup di dalamnya, utamanya prinsip-prinsip yang bisa membantu seseorang memiliki kestabilan emosi di tengah menghadapi keras dan berlikunya alur kehidupan.
Hal penting pertama yang jarang kita sadari, adalah ketika kita ingin mendapatkan sebuah kebahagiaan, maka sudah sepatutnya kita tidak terpaku pada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Contoh sederhananya adalah komentar orang lain. Misal ketika kita memposting sesuatu, lalu teman kita mengomentari postingan tersebut dengan kata-kata yang merujuk pada body shaming. Orang-orang yang tak memahami Filosofi ini, akan cenderung merasa bahwa komentar tersebut benar adanya dan patut untuk dipertimbangkan, hingga akhirnya sang kreator tidak ingin lagi memposting sesuatu dalam jangka waktu yang lama. Misalnya samapi kreator menjadi langsing. Padahal sebenarnya komentar tadi itu tidak seharusnya menjadi pemicu kreator untuk berhenti menunjukkan eksistensi, selama konten atau postingannya tidak merugikan orang lain dan tidak melanggar etika yang berlaku di sosial media.Â
Contoh sederhana lainnya adalah ketika kita selalu terpaku pada masa lalu, atau bahkan meromantisasi masa lalu. Misalnya, "Dari dulu aku tuh emang ngga bisa ngomong di depan panggung, di kelas aja gemeteran". Terus pada akhirnya, orang tersebut statis dengan ketidakmampuannya itu. Karena merasa ya kemampuan terhadap sesuatu itu merupakan bawaan sedari lahir atau setelan pabrik, nggak bisa dilatih. Padahal, kita harus sadari bahwasanya kemampuan komunikasi di depan umum itu sangat penting dan bisa kita pelajari sesederhana dengan berbicara sendiri di cermin atau mulai berlatih berbicara di depan teman-teman sebaya.
Hal kedua yang aku pelajari dari buku ini adalah, emosi kita itu tergantung pada perspektif kita. Jadi gini, kalo misal kita mikir sesuatu yang buruk akan terjadi di masa depan, contoh kecilnya adalah pada hasil perlombaan, maka kita akan tersugesti untuk tidak memaksimalkan usaha, kesempatan dan waktu yang ada. Hingga pada akhirnya berujung pada kegagalan. Padahal kalo misal dari awal kita selalu mikir tentang hal-hal yang positif, maka yakin deh, kita pasti akan selalu mengusahakan hal-hal baik seperti misalnya dengan belajar atau latihan, terus menerapkan prinsip "apapun hasilnya, yang terpenting adalah sudah usaha dan doa", maka niscaya hasilnya akan lebih optimal.Â
Kemudian yang ketiganya, kebanyakan dari kita selalu menaruh ekspektasi tinggi pada sesuatu. Utamanya adalah manusia. Padahal, manusia merupakan sumber kecewa. Kita tidak bisa bergantung pada ekspektasi dari orang terhadap kita, atau kita terhadap orang lain. Kadang kita lebih takut mencoba sesuatu itu bukan karena gagal dari hasil yang telah diusahakan, tapi justru takut malah mengecewakan ekspektasi banyak pihak. Padahal menurutku, itu gapapa. Namanya juga proses.
Kita juga pasti kerap berpikir untuk melakukan balas dendam ketika kita dijahati atau dikhianti orang lain, "lihat aja aku bakal balas apa yang dilakukannya, lebih parah dari ini malah". Kaya gitu, kan? Padahal menurutku filosofi Stoisisme, balas dendam itu tidak disarankan, alih-alih lebih parah melalukannya. Filosofi Teras mengajarkan kita untuk membiarkan perilaku dan pikiran orang lain terhadap kita, karena ya kembali lagi, "Hal yang bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri". Dari pada balas dendam, lebih baik kita upgrade diri menjadi lebih baik.
Terakhir, namun tidak kalah penting adalah kita harus menyadari bahwa sebenarnya yang bisa mencaci, memaki, atau bahkan menghina diri kita secara terang-terangan itu, ya diri kita sendiri. Bayangkan kalo misal kita aja enggak suka sama diri kita sendiri, apalagi orang lain coba? jadi mulai untuk mengenal diri lebih dalam. Menjawab pertanyaan "siapa sih aku sebenarnya?" lalu mulai mencintai diri sendiri dengan pelan-pelan, tanpa tergesa-tergesa. Bukan kah sebelum mencintai orang lain, kita harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H