Mohon tunggu...
Lintang Jingga
Lintang Jingga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Brawijaya

I'm an ordinary student who loves all things movement, from environmental, social, political, philosophy, gender, and more.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Jangan Menganut Stoikisme!

2 Agustus 2024   14:34 Diperbarui: 2 Agustus 2024   14:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber https://www.lifehack.org/868287/perspective-on-life

Stoikisme merupakan sebuah aliran filsafat kuno yang muncul pada periode Yunani kuno. Jika dilansir dalam Kamus Filsafat Cambridge, perkembangan Filsafat stoikisme dibagi menjadi tiga berdasarkan tokoh setiap periodenya. Pertama adalah Stoa Awal, terdiri dari Zeno (334--262 SM), Chrisipus (280--206 SM), dan Cleanthes (331--232 SM), kedua adalah Middle Stoicsm, dikembangkan oleh Panaetius (185--110 SM) dan Posidonius (135--50 SM) dari Rhodes, dan yang terakhir adalah Stoa Akhir atau Stoa Romawi (Roman Stoicsm) terdapat Cicero (106 SM-43 M), Seneca Muda (1--65M), Epictetus (55--135M), dan Marcus Aurelius (121--180M).

Melihat dari kelahirannya, Filasafat Stoikisme terbilang cukup kuno. Namun, perkataan para Stoa terdahulu sering dikutip dan bermunculan di media sosial saat ini. Sebagian penyebabnya adalah penulis internasional seperti Ryan Holiday, Massimo Pigliucci, dan Brigid Delaney dari Australia. Setiap penulis memiliki pendekatan unik terhadap Stoikisme. Holiday, seorang mantan eksekutif pemasaran untuk American Apparel, menekankan pada empat kebajikan Stoisisme: keberanian, kesederhanaan (atau moderasi), keadilan, dan kebijaksanaan. Pigliucci, seorang akademisi yang tinggal di New York, tertarik pada praktik-praktik Stoikisme. Sementara itu, Delaney, seorang jurnalis dan penulis buku "Reasons not to Worry: How to be Stoic in Chaotic Times," mencari kerangka kerja untuk menavigasi kehidupan.

Luar biasa ketika melihat minat masyarakat saat ini --- masyarakat Indonesia yang mempelajari Filsafat Stoikisme, terlebih munculnya sebuah buku yang sering dikaitkan dengan 'Filsafat' Stoikisme di Indonesia seperti "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring yang sukses membangkitkan semangat berfilsafat masyarakat Indonesia.

Namun, terdapat beberapa masalah yang ada pada Stoikisme, baik dalam versinya yang kuno maupun modern. Berikut adalah beberapa permasalahan yang ada di dalam aliran Filsafat Stoikisme

1. Dikotomi of Control

Salah satu aspek yang paling penting dan berguna dari Stoikisme adalah apa yang disebut "dikotomi kontrol". Dikotomi kontrol merupakan suatu pemahaman yang memberikan pandangan dimana ada sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan dan ada sesuatu yang bisa kita kendalikan. Pada Stoikisme, kebahagiaan hanya dapat tercapai ketika focus kepada hal-hal yang dapat dikendalikan tanpa mempedulikan sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.

Pada dikotomi kontrol, Stoa membagi sesuatu hal menjadi dua, yang dapat dikendalikan (hanyalah respon kita dalam memandang dunia) dan yang tidak dapat dikendalikan (semua hal yang diluar kita). Sesuatu hal yang dapat di kendalikan dibagi lagi menjadi tiga oleh Daley, antara lain reaksi kita, karakter kita, dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Melakukan kegiatan lain dianggap membuang-buang waktu.

Dikotomi kontrol menjadi masalah yang pertama, sejatinya ada banyak hal yang bisa di kendalikan di dunia ini. Kita bisa mengendalikan kendaraan kita untuk melaju lebih kencang, kita bisa mengendalikan air agar mendidih dan membeku. Selain itu, kita juga bisa mengendalikan orang lain. Saat anak kecil tidak mau menuruti orangtuanya, berikan saja apa yang anak kecil mau, maka dia akan menuruti apa yang diperintahkan.

Permasalahan dikotomi kontrol membawa kita kepada kepasifan. Jika kita hanya berfokus kepada apa yang dikatakan oleh Stoikisme mengenai reaksi, karakter, dan tindakan kita, serta tidak mempedulikan hal-hal diluar diri, maka akan terjadi ke-pasifan dalam menghadapi masalah-masalah besar seperti krisis iklim, kesenjangan sosial, dan masalah-masalah lainnya.

Lucu rasanya jika banyak tokoh terkenal menganut dikotomi kontrol, seperti seorang perumus hukum gravitasi --- Isaac Newton. Ketika apel jatuh menghantam kepalanya, yang ia lakukan hanyalah menganggap itu semua diluar kendali dan melanjutkan duduk dibawah pohon menunggu apel lain menjatuhi dirinya.

2. Ketakutan terhadap emosi

Stoikisme mengatakan kita tidak dapat mengendalikan apapun di dunia ini karena ketika kita tidak bisa mendapat apa yang kita inginkan maka kita akan merasa tidak enak terhadapnya. Para Stoa memiliki ketakutan besar terhadap emosi, terutama pada emosi negatif. Ini adalah poin eksternal vs internal dalam Stoikisme, kita tidak bisa mengendalikan eksternal, jadi jangan mengejarnya atau kita akan frustasi, marah, kesal, bahkan sedih.

Secara garis besar, Stoikisme menuntut untuk mengatur diri secara emosional agar mencapai keseimbangan batin. Terdapat keanehan dari dua hal tersebut, pertama kita ingin mendapatkan pengalaman emosional kita tetapi tetap berperilaku etis kepada orang lain. Kedua, kita bertujuan untuk tidak mengalami berbagai macam emosi manusia tapi hal itu membuat kita terjebak ke dalam kehampaan.

Sebagai penjelas, manusia sebenarnya menginginkan pengalaman emosi --- negative maupun positif, dalam hidup mereka. Ketika kita melihat film horror dan merasakan ketakutan setelah melihatnya, ketika membaca novel romance dan menangis saat tokoh utama meninggalkan kekasihnya, serta mendengarkan lagu sedih sewaktu dicampakan oleh pacar. Bukankah semua itu bertujuan untuk membangkitkan emosi kita? Marah, jijik, sedih. Ajaran Stoikisme secara tidak langsung menuntut kita untuk menjauhi apa yang kita sukai --- ketertarikan kita dalam menikmati berbagai macam emosi dalam diri manusia. Jika manusia tidak menuruti emosi, maka akan terjadi kehampaan batin.

Emosi dalam manusia --- seperti cinta, simpati, kasih sayang bisa jadi suatu hal yang baik dan juga sesuatu hal yang buruk. Emosi seperti frustasi dan marah bisa saja merusak, dan bisa jadi hal yang dapat membantu. Kuncinya adalah seberapa kuat kita dalam menerima emosi-emosi itu dan menjadikannya sesuatu hal yang etis bagi diri kita. Pertanyaannya bukanlah emosi itu menjadi baik atau buruk untuk kita rasakan, tetapi emosi itu berasal dari tempat yang berkekurangan atau melimpah secara batiniah.

3. Kesalahan persepsi

Stoikisme percaya bahwa kita hanya akan mengalami luka ketika kita berpikir kalau kita sedang mengalami luka. Pigliucci mempertegas argument itu menjadi "kamu tidak akan terganggu oleh hal-hal itu, tetapi oleh penilaianmu sendiri" secara sederhana dapat dianalogikan ketika ada seseorang yang berperilaku buruk terhadap kita sebenarnya hanyalah pikiran kita yang membuat persepsi seperti itu. Overthingking hanya memperburuk situasi kita dalam menanggapi apa yang sedang terjadi.

Contoh lainnya disaat kita terkena suatu musibah, Stoikisme mengajarkan kita untuk menganggap musibah itu bukanlah hal yang buruk, dan menjadi suatu hal yang harus kita terima dari alam semesta. Seorang Stoa akan menghadapi semua hal yang terjadi dengan "terima saja"

Hal ini menjadi suatu permasalahan selanjutnya. Saat kita hanya berpegang pada penilaian pribadi kita, maka kita hanya mengandalkan satu sudut pandang dalam melihat suatu kejadian dan tidak mengendahkan apa yang dikatakan orang lain. Kesalahan persepsi ini membuat kita menjadi seorang yang tidak berpikir kritis.

Sangat konyol disaat manusia hanya mengandalkan satu sudut pandang dalam menanggapi fenomena yang terjadi. Jika ilmu pengetahuan menerapkan Stoikisme, maka tidak akan ada yang namanya falsification yang akan melahirkan teori-teori baru menunjang teknologi manusia saat ini.

Sejatinya bukan overthingking yang merusak pikiran kita, melainkan pikiran-pikiran yang hanya berdasarkan pada satu sudut pandang yang akan membutakan kita terhadap apa yang sedang terjadi.

sumber https://www.lifehack.org/868287/perspective-on-life
sumber https://www.lifehack.org/868287/perspective-on-life

Fisafat sejatinya bukan untuk apa yang kita rasakan sendiri, melainkan dapat membuat suatu perubahan nyata pada pemikiran masyarakat. Apakah hidup kita benar-benar begitu menyakitkan dan membebani sehingga akan menguntungkan bagi kita untuk menukarnya dengan cara hidup stoikisme yang sudah menjadi fosil? Keadaan tidak cukup buruk bagi kita sehingga harus mengikuti gaya hidup stoikisme!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun