Stoikisme mengatakan kita tidak dapat mengendalikan apapun di dunia ini karena ketika kita tidak bisa mendapat apa yang kita inginkan maka kita akan merasa tidak enak terhadapnya. Para Stoa memiliki ketakutan besar terhadap emosi, terutama pada emosi negatif. Ini adalah poin eksternal vs internal dalam Stoikisme, kita tidak bisa mengendalikan eksternal, jadi jangan mengejarnya atau kita akan frustasi, marah, kesal, bahkan sedih.
Secara garis besar, Stoikisme menuntut untuk mengatur diri secara emosional agar mencapai keseimbangan batin. Terdapat keanehan dari dua hal tersebut, pertama kita ingin mendapatkan pengalaman emosional kita tetapi tetap berperilaku etis kepada orang lain. Kedua, kita bertujuan untuk tidak mengalami berbagai macam emosi manusia tapi hal itu membuat kita terjebak ke dalam kehampaan.
Sebagai penjelas, manusia sebenarnya menginginkan pengalaman emosi --- negative maupun positif, dalam hidup mereka. Ketika kita melihat film horror dan merasakan ketakutan setelah melihatnya, ketika membaca novel romance dan menangis saat tokoh utama meninggalkan kekasihnya, serta mendengarkan lagu sedih sewaktu dicampakan oleh pacar. Bukankah semua itu bertujuan untuk membangkitkan emosi kita? Marah, jijik, sedih. Ajaran Stoikisme secara tidak langsung menuntut kita untuk menjauhi apa yang kita sukai --- ketertarikan kita dalam menikmati berbagai macam emosi dalam diri manusia. Jika manusia tidak menuruti emosi, maka akan terjadi kehampaan batin.
Emosi dalam manusia --- seperti cinta, simpati, kasih sayang bisa jadi suatu hal yang baik dan juga sesuatu hal yang buruk. Emosi seperti frustasi dan marah bisa saja merusak, dan bisa jadi hal yang dapat membantu. Kuncinya adalah seberapa kuat kita dalam menerima emosi-emosi itu dan menjadikannya sesuatu hal yang etis bagi diri kita. Pertanyaannya bukanlah emosi itu menjadi baik atau buruk untuk kita rasakan, tetapi emosi itu berasal dari tempat yang berkekurangan atau melimpah secara batiniah.
3. Kesalahan persepsi
Stoikisme percaya bahwa kita hanya akan mengalami luka ketika kita berpikir kalau kita sedang mengalami luka. Pigliucci mempertegas argument itu menjadi "kamu tidak akan terganggu oleh hal-hal itu, tetapi oleh penilaianmu sendiri" secara sederhana dapat dianalogikan ketika ada seseorang yang berperilaku buruk terhadap kita sebenarnya hanyalah pikiran kita yang membuat persepsi seperti itu. Overthingking hanya memperburuk situasi kita dalam menanggapi apa yang sedang terjadi.
Contoh lainnya disaat kita terkena suatu musibah, Stoikisme mengajarkan kita untuk menganggap musibah itu bukanlah hal yang buruk, dan menjadi suatu hal yang harus kita terima dari alam semesta. Seorang Stoa akan menghadapi semua hal yang terjadi dengan "terima saja"
Hal ini menjadi suatu permasalahan selanjutnya. Saat kita hanya berpegang pada penilaian pribadi kita, maka kita hanya mengandalkan satu sudut pandang dalam melihat suatu kejadian dan tidak mengendahkan apa yang dikatakan orang lain. Kesalahan persepsi ini membuat kita menjadi seorang yang tidak berpikir kritis.
Sangat konyol disaat manusia hanya mengandalkan satu sudut pandang dalam menanggapi fenomena yang terjadi. Jika ilmu pengetahuan menerapkan Stoikisme, maka tidak akan ada yang namanya falsification yang akan melahirkan teori-teori baru menunjang teknologi manusia saat ini.
Sejatinya bukan overthingking yang merusak pikiran kita, melainkan pikiran-pikiran yang hanya berdasarkan pada satu sudut pandang yang akan membutakan kita terhadap apa yang sedang terjadi.