Lebaran selalu membawa aroma kenangan yang hangat dan penuh makna. Di tengah-tengah persiapan yang riuh, ada satu misi spesial yang selalu kunantikan: menata bingkisan Lebaran untuk ibuku tercinta. Ibu, dengan selera khasnya pada makanan dan cemilan gurih, menjadi inspirasi bagi tradisi kecil yang selalu berkesan ini.
Bingkisan Lebaran untuknya bukan sekadar paket hadiah, melainkan kumpulan kilas balik dan tawa, tercipta dari rasa yang tak lekang oleh waktu. Setiap tahun, tanpa lupa, aku mengumpulkan cemilan kegemaran ibu, mulai dari rempeyek kacang yang gurih, kripik cincin udang yang renyah, roti mari wijen yang lezat, hingga kacang koro crispy yang melegenda di keluarga kami.
Meskipun sederhana, pengemasannya kulakukan dengan penuh hati. Kupilih sebuah kardus bersih dan kuat sebagai wadah, kemudian menghiasinya dengan pita yang elegan --tatanan simpel yang sesungguhnya menyembunyikan ekspresi kasih sayang yang dalam.
Tidak ada yang lebih memuaskan hati daripada melihat ibu membuka bingkisan tersebut. Senyum semringahnya adalah hadiah tak ternilai yang seringkali membuatku terharu. Bagi ibu, setiap kerenyahan dari makanan gurih itu bukan hanya tentang rasa, melainkan jembatan menuju masa lalu: ke masa-masa ketika dia masih menjadi gadis kecil yang menantikan Lebaran hanya untuk menikmati jajanan dari orang tuanya (kakek dan nenekku).
Ibu kerap bercerita, bagaimana rempeyek kacang favoritnya mengingatkannya pada suasana Hari Raya di kampung halaman, dimana aroma dan rasa gurihnya yang khas seakan menjadi pengumuman akan kedatangan hari yang fitri. Cemilan-cemilan ini, di luar kenikmatan fisiknya, memberi nutrisi bagi jiwa ibu dengan nostalgia yang mendalam.
Pada akhirnya, ritual sederhana ini telah menjelma menjadi bagian esensial dari Lebaran kami. Bingkisan itu mungkin tampak kecil, tetapi bobot sentimentalnya tak terukur. Selalu ada sesuatu yang istimewa tentang tradisi yang tumbuh dari pengertian yang mendalam tentang apa yang disukai oleh orang yang kita sayangi.