Aku masih ingat, beberapa tahun silam, di sebuah sudut kamar kost di kawasan Dago, Bandung, aku mengalami Ramadhan yang penuh warna dan rasa. Sebuah masa yang seolah mengental bagai kenangan manis yang melekat erat. Saat itu, aku hanyalah seorang anak kost yang berusaha membuat momen buka puasa menjadi istimewa meski dengan bahan seadanya.
Ketika azan magrib berkumandang, mengusir senja yang sempat bertahan di langit kota kembang, itu juga tanda bagi perut yang lapar untuk bersiap menikmati apa yang sudah kutata sebelumnya di atas meja belajar yang sempit. Takjil menjadi sajian perdana, praktis namun menggugah selera. Aku biasa membeli nata de coco dari Superindo atau Broma, segar dan selalu siap sedia menjadi penyemarakan waktu berbuka. Kerap aku sajikan bersama irisan pepaya merah matang yang manis atau kadang-kadang dengan sirup dan jeruk peras yang segar, menciptakan kombinasi yang harmonis antara manis dan asam, meredakan dahaga setelah berpuasa seharian.
Kalau tak sempat keluar untuk mencari makanan lain, maka sajian utama biasanya simpel; aku akan mengandalkan orek tempe kering atau kering kentang yang selalu kusimpan stock-nya. Itu menjadi padanan sempurna untuk segumpal nasi hangat yang baru saja kukeluarkan dari magic com. Lalu saling tukar-tukaran dengan teman se-kost, kadang ada yang bikin sop wortel hingga masak ikan patin. Keragamannya jadi menambah kelezatan piring makanku.
Ada kalanya kreativitas menggebu saat buka puasa memaksa aku untuk beralih fungsi menjadi seorang chef dadakan di dapur kostan. Dengan berbekal nasi merah sisa ketika sahur, telur, dan sedikit bumbu, aku akan meraciknya menjadi nasi goreng spesial ala nasi goreng Patayya. Magic com yang serba guna itu tidak hanya menjadi pembuat nasi, tetapi juga sesekali menjadi penggorengan praktis, menghasilkan aroma nasi goreng menggiurkan yang kerap membuat tetangga kost iri.
Jika banyak teman kost sedang ada waktu luang, kami biasanya memasak seblak bareng-bareng. Sebagai pecinta makanan pedas kala itu, kami akan berkolaborasi membuat seblak ini dengan banyak topping, mulai dari ceker hingga siomay kering.
Namun, terkadang juga, setelah menikmati takjil dan berbuka, aku akan menunaikan sholat magrib terlebih dahulu. Setelah itu, suasana buka puasa menjadi lebih meriah. Aku dan teman-teman satu kost akan berjalan beriringan menuju pujasera yang terletak tepat di seberang BEC Mall, menikmati ragam sajian yang membuat lidah bergoyang. Kami tertawa, bercerita, dan menikmati hidangan kebersamaan yang tidak mungkin tergantikan.
Momen yang paling tak mungkin terlupa adalah saat kami memutuskan untuk menyantap bakso cuanki yang tersohor, di sebuah tenda persis di seberang toko elektronik Dukomsel, Dago. Saat itu, segenap rasa lelah dan dahaga seolah terbayar dengan semangkuk bakso yang hangat, pedasnya yang menghangatkan, dan bumbu kacangnya yang khas menari di lidah.
Bagi banyak orang, Ramadhan di kota besar mungkin mengingatkan akan kilauan lampu dan kesibukan tak terelakkan. Namun, bagi aku pribadi yang pernah menjadi bagian dari simpul kehidupan sebagai anak rantau, Ramadhan selalu mengingatkan aku pada sederet kreasi masakan sederhana yang selalu berhasil mengusir rasa sepi, mempererat tali persaudaraan, dan menghangatkan jiwa. Masa lalu di kost itu adalah serangkaian kenangan yang tak terlupakan, sebuah cerita yang akan selalu kuseritakan dengan senyum hangat dan rasa syukur yang mendalam.
Ikko Williams
Magelang, 22 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H