Jika banyak teman kost sedang ada waktu luang, kami biasanya memasak seblak bareng-bareng. Sebagai pecinta makanan pedas kala itu, kami akan berkolaborasi membuat seblak ini dengan banyak topping, mulai dari ceker hingga siomay kering.
Namun, terkadang juga, setelah menikmati takjil dan berbuka, aku akan menunaikan sholat magrib terlebih dahulu. Setelah itu, suasana buka puasa menjadi lebih meriah. Aku dan teman-teman satu kost akan berjalan beriringan menuju pujasera yang terletak tepat di seberang BEC Mall, menikmati ragam sajian yang membuat lidah bergoyang. Kami tertawa, bercerita, dan menikmati hidangan kebersamaan yang tidak mungkin tergantikan.
Momen yang paling tak mungkin terlupa adalah saat kami memutuskan untuk menyantap bakso cuanki yang tersohor, di sebuah tenda persis di seberang toko elektronik Dukomsel, Dago. Saat itu, segenap rasa lelah dan dahaga seolah terbayar dengan semangkuk bakso yang hangat, pedasnya yang menghangatkan, dan bumbu kacangnya yang khas menari di lidah.
Bagi banyak orang, Ramadhan di kota besar mungkin mengingatkan akan kilauan lampu dan kesibukan tak terelakkan. Namun, bagi aku pribadi yang pernah menjadi bagian dari simpul kehidupan sebagai anak rantau, Ramadhan selalu mengingatkan aku pada sederet kreasi masakan sederhana yang selalu berhasil mengusir rasa sepi, mempererat tali persaudaraan, dan menghangatkan jiwa. Masa lalu di kost itu adalah serangkaian kenangan yang tak terlupakan, sebuah cerita yang akan selalu kuseritakan dengan senyum hangat dan rasa syukur yang mendalam.
Ikko Williams
Magelang, 22 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H