PEMUDA 23 tahun berkulit hitam manis dan berhidung mancung itu bernama Damar. Telinganya di tindik, kedua tangannya penuh tato. Baginya, waktu adalah kesempatan untuk berusaha membahagiakan diri sendiri. Ia abaikan masalalu dan masa depan, ia terus memburu kebahagiaan hari ini, ia suka berpesta.
Damar seorang discjocky di sebuah club malam miliknya sendiri di kawasan Jakarta Pusat. Ia memiliki masalalu kelam, sejak lahir ia dibuang ibu kandungnya, ia dirawat seorang janda tua yang menemukannya hingga ia berusia 16 tahun.Â
Damar juga mantan korban bully-ng selama ia sekolah, ia kerap dicap sebagai anak haram. Dari sana ia merasa, tak ada orang baik di dunia ini, kampung tempatnya tinggal pun adalah tempat tak aman baginya.
Pergi dari kampungnya di Jogjakarta dan pindah ke Jakarta setelah lulus SMA, Damar yang siap melupakan masalalunya harus menghadapi hidup dengan kemandirian penuh, karena sakit hatinya, ia janji pada dirinya takkan pulang ke kampung halamannya sampai kapan pun. Bermula bekerja di proyek bangunan, pelayan di rumah makan, jadi gelandangan, bahkan sempat jadi office boy, nasibnya kini diperoleh karena keuletannya mewujudkan mimpi.
Selanjutnya, Damar merasa terbebas dari semua aturan di dunia ini, waktu ada digenggamannya. Pesta, mabuk-mabukan, seks bebas, gaya hidup yang mewah, semua keinginannya ia wujudkan segera dengan mudah, ia lepas dari aturan-aturan yang ada.
Hingga Suatu malam, saat ia break kerja, seseorang misterius menelponnya. Damar masih diam ketika orang itu menyapanya berkali-kali.
"Tolong jangan dimatikan lagi, ada kabar penting," ucap seseorang itu lagi.
"Ini siapa?" tanya Damar heran.
"Saya tetangga ibu angkatmu, beliau masuk rumah sakit, asmanya kambuh."
Hening. "Butuh uang berapa?"