Mohon tunggu...
ikke wardah
ikke wardah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wanita Tangguh

Menjadi TUA itu PASTI sedangkan menjadi DEWASA itu PILIHAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maksud Hati Berkata Bebas tapi Malah Bablas....

8 Maret 2019   18:20 Diperbarui: 8 Maret 2019   18:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak Asasi Manusia merupakan hak fundamental semua makhluk berakal dan beradab yang disebut Manusia. Sejatinya HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. 

Bukan hal yang mudah memang menuntut hak tersebut, hak paling dasar ini jika tidak dibarengi kecerdasan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain sering berbenturan dan berakhir dengan sebuah drama konflik mengatas namakan perjuangan atas HAM. 

Menuntut hak azasi penting tapi ingat kewajiban menghormati HAM orang lain juga tidak kalah penting. Apalagi tindakan tersebut dilakukan oleh seorang tenaga pendidik.

Seperti aksi seorang bergelar Doktoral yang merupakan mantan aktivis mahasiswa diera pergolakan Reformasi'98 dahulu kala. Sebuah bentuk ekspresi mengemukakan pendapat yang dianggap sebagai hak yang Azasi namun malah mencederai hak azasi yang lain. Memang agak menggelitik mengapa seorang akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) setingkat Strata 3 yang nota bene juga seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) masih turun kejalanan seperti pergolakan dahulu kala? 

Bisa jadi semangat masih membara atau malah ingin suasana pergolakan kembali seperti sedia kala? Seorang akademisi dan birokrat memang sebaiknya memberikan aksi nyata untuk masyarakat sesuai amanah yang Tuhan berikan kepadanya. Bukan turun kejalan dan bicara semaunya. Ingat ASN punya aturan juga lho dan ketentuan-ketentuan yang mengatur perilaku atau tindak-tanduk ASN.

Memang status pendidikan tidak serta merta menunjukkan kualiatas diri sebagai buah karya hasil pendidikan yang di miliki. Tetapi seseorang yang berpendidikan akan lebih bijak dalam berucap dan lebih santun dalam dalam bersikap sehingga tidak akan membentur hak asasi manusia lain apalagi menyakiti hati orang lain. 

(TNI-POLRI) yang dulu ABRI mungkin tidak akan sakit hati karena mereka sudah tertempa. Namun bagaimana dengan keluarga sanak saudara dan anak cucu mereka yang juga punya Hak yang Azasi pula. Rasanya hal tersebut tidak perlu terjadi jika aspirasi yang katanya Hak Azasi bisa dengan bijak disikapi, bicara boleh tapi jangan menyakiti.

Bila kebebasan berpendapat didasari dengan niat kebencian dan niat jelek maka akan muncul pembicaran yang mengandung kehinaan dan keburukan. Apalagi perilaku tersebut ditampilkan seorang tenaga pendidik yang menjadi contoh anak didiknya. Pepatah mengatakan "Guru kencing berdiri murid kencing berlari", jangan sampai nanti jadi Guru ngomong nggak pake hati murid bisa bikin Anarki. 

Semoga hal seperti ini tidak kembali terjadi apalagi oleh akademisi dan pendidik di Negeri ini. Dunia kebebasan berpendapat dalam bingkai Demokrasi bangsa ini, perlu dilandasi Kedewasaan para pendidik dan akademisi dalam mengutarakan pendapatnya dengan bijak dan bertanggung jawab. Semoga Berpendapat yang Azasi tidak Bablas dan menyakiti Hak Azasi yang lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun