Dari dulu saya sudah berkeinginan/bermimpi untuk Pilih Sekolah yang menghargai subjektivitas. Pilih sekolah yang kaya subjektivitas membuat saya seperti sekarang ini. Pandai ngeblog di Kompasiana, membuat review, biografi, cerdas berkomentar di internet dan lain sebagainya
Kemudian mimpi saya berlanjut, kelak entah kapan, anak-anak saya atau mungkin cucu-cucu saya, Â juga bisa mengikuti langkah saya dan ketika mereka pulang dari sekolah, mereka lantas bergairah sekali untuk menceritakan tentang apa yang diperolehnya di sekolah.
Saya berpendapat alangkah hebatnya sekolah apabila tidak memberikan penilaian kepada anak didik di depan anak didik atau yang dapat diketahui oleh anak didik.
Sekolah akan lebih hebat lagi jika mampu menghindar dari kegiatan mengarah-arahkan dan mencap anak didik sebagai ini atau itu. Saya menganggap bahwa jika sekolah mau "membebaskan" anak didik untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri, meskipun pendapat tersebut sangat subjektif, tentulah sekolah tersebut akan menjadi salah satu tempat yang sangat menyenangkan bagi mereka.
Selama ini, sekolah memang tampak lebih cenderung mengunggulkan objektivitas. Saya tidak ingin menunjukkan di sini bahwa saya tidak setuju dengan hal objektivitas atau objektivitas itu tidak baik. Saya tetap setuju. Hanya kadang dominasi objektivitas membuat subjektivitas tidak memiliki tempat.
Pendapat-pendapat anak didik yang masih kental sifat subjektifnya dan belum teruji secara objektif kemudian mudah tenggelam sebelum sempat dimunculkan mereka. Anak-anak didik menjadi takut berpendapat.
Yang membuat keadaan tambah parah adalah jika para "penilai" di sekolah menganggap pendapat subjektif tidak ada harganya lantaran tak berdasar. Sekali lagi, bukan "isi" pendapat subjektif itu yang dipersoalkan, tetapi ketertarikan menyoroti munculnya pemberian penghargaan atas keberanian seorang anak didik mengeluarkan pendapat pribadinya, meski pendapat itu tidak istimewa atau bahkan keliru.
Keberanian berpendapat meskipun mungkin jika diukur secara objektif kurang tepat, perlu dihargai oleh semua pihak yang terlibat dengan kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Apakah anak-anak yang masih kecil mau secara berani mengeluarkan pendapat pribadinya apabila pendapatnya disalah-salahkan terus?
Akhirnya kita melihat, tentu tidak semua sekolah mengalami hal ini. Anak-anak cenderung menyembunyikan dirinya untuk tidak berpendapat karena takut salah. Jika ada seorang guru yang melontarkan pertanyaan kepada anak didik usai memberikan suatu materi pelajaran,Â
"Siapa yang mau bertanya?" Terjadilah kebisuan di ruangan kelas. Anak-anak saling berpandangan dan bahkan hampir sebagian besar menundukkan kepalanya.
Memang mereka tidak mau bertanya, bisa jadi karena tidak ada yang mau ditanyakan atau karena mereka tidak memahami materi pelajaran yang baru saja diajarkan oleh guru mereka.
Namun bolehkah saya menduga berkaitan dengan ketidakmauan mereka bertanya? Saya menduga mereka tidak mau bertanya karena takut pendapatnya, bahkan pendapat yang masih berbentuk pertanyaan sekalipun disalahkan atau dianggap tidak ada harganya oleh gurunya.
Saya tidak ingin menyalahkan sang guru dalam hal ini. Sang guru memiliki sikap begitu lantaran dia mengunggulkan betul hal-hal yang berkaitan dengan objektivitas. Sang guru ingin agar anak didik tetap berada dalam koridor atau aturan yang benar. Dan aturan yang benar di sekolah adalah mengurangi pendapat-pendapat yang bersifat pribadi alias subjektif.
Saya pikir, subjektivitas perlu dihargai. Sekolah-sekolah masa kini perlu membangkitkan pendapat-pendapat yang subjektif. Subjektivitas berkaitan dengan keunikan, firasat, intuisi, perkiraan, asumsi, perasaan, selera dan hal-hal yang berbau emosional dikelola  oleh otak kanan.
Menurut Richard Restak (ahli ilmu saraf dari Amerika), seseorang memang tidak bisa hanya berfikir dengan otak kiri atau otak kanan saja. Setiap kali kita berfikir, kita tentu menggunakan dua belahan otak (kiri-kanan). Ada semacam jembatan bernama Corpus Callosum yang secara aktif mengalirkan hasil pemikiran otak kiri dan kanan.
Benar kata Richard. Namun saya juga menyakini, dengan melihat fungsi-fungsi yang ada pada otak kanan yang sifat kerjanya sangat berbeda dengan otak kiri, maka kita dapat melatih diri untuk lebih menunjukkan hasil kerja otak kanan.
Menurut saya, salah satu hasil kerja otak kanan yang perlu dimunculkan adalah bagaimana kita dapat berpendapat secara subjektif, yakni berpendapat tanpa mengikuti aturan-aturan objektif yang memenuhi persyaratan otak kiri yang rasional dan logis.
Sejak kecil sebenarnya anak sudah memiliki rasa ingin tahu yang besar. Inilah yang mendorongnya untuk bertanya dan berpendapat. Pertanyaan dan pendapatnya kadang-kadang aneh. Ketika dia masuk sekolah pertanyaan dan pendapat yang aneh-aneh ini perlahan-lahan menghilang.
Tiga poin penting:
- Membebaskan anak didik agar berani memunculkan pendapat subjektif, bukan berarti membiarkan mereka bebas atau tidak bertanggung jawab.
- Memberikan penghargaan yang tinggi kepada anak didik yang berani mengeluarkan subjektivitasnya, bukan berarti proses belajar-mengajar berhenti pada tahap ini.
- Membebaskan dan memberikan penghargaan menjadi langkah awal agar anak-anak didik dapat memunculkan keunikan-keunikan yang dimiliki mereka. Karena sekali lagi, subjektivitas adalah syarat lahirnya keunikan.
Kita tahu, anak-anak memiliki otak kiri dan kanan yang aktif dan terus bekerja ketika belajar. Alangkah lebih baiknya jika pikiran otak kanan yang cenderung subjektif diaktifkan lebih dulu ketika proses belajar diselenggarakan.
Para guru perlu menghargai pendapat-pendapat anak didik yang lahir dari pemikiran otak kanan. Setelah mereka senang dan bergairah dalam berpendapat, barulah para guru mengajarkan anak-anak untuk menggunakan otak kiri. Inilah yang menurut saya sebuah kegiatan belajar-mengajar yang juga barangkali akan mengasyikkan dan menggairahkan.
Meski anak-anak didik  menggunakan baju seragam yang sama setiap berangkat ke sekolah, mereka tidak lantas seragam juga kepribadiannya. Sekolah harus berusaha memunculkan potensi unik nan berbeda yang sudah ada di dalam diri anak didik. Sekolah yang model seperti inilah yang harus dipilih oleh orang tua anak didik. Karena adanya metode-metode baru belajar yang menyenangkan yang sesuai dengan perkembangan zaman.
***
~Menghargai subjektivitas adalah menghargai keunikan~
~Sekolah yang baik dan sesuai dengan perkembangan zaman adalah sekolah yang menghargai subjektivitas yang mampu melejitkan potensi diri anak didik~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H