Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kisah Kali Ciliwung, Bagai Got Raksasa di Kampung Besar

12 September 2019   20:59 Diperbarui: 14 September 2019   15:09 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali Ciliwung ternyata telah terkontaminasi Bakteri E-coli, bahkan telah melebihi ambang batas/baku mutu (foto.kompas.com).
Kali Ciliwung ternyata telah terkontaminasi Bakteri E-coli, bahkan telah melebihi ambang batas/baku mutu (foto.kompas.com).
Tercemarnya Ciliwung jelas mengakibatkan munculnya beragam akibat seperti; timbulnya penyakit gatal-gatal dan diare bagi masyarakat di pinggir sungai yang selama ini menggunakan air tersebut, kualitas air sebagai sumber air baku PDAM menurun yang berakibat pada kurangnya pasokan air bersih untuk masyarakat, meningkatnya biaya pengolahan air baku untuk didisribusikan kepada masyarakat hingga mengakibatkan matinya biota-biota (ikan) di sungai tersebut.

Pihak yang paling menderita akibat kurangnya pasokan air bersih adalah masyarakat miskin perkotaan. Sekitar 80 persen masyarakat miskin perkotaan diketahui sulit/tidak mendapatkan akses air bersih dan bahkan harus membayar lebih mahal. Sebagai contoh, masyarakat miskin di Jakarta Utara harus membayar Rp. 60.000-70.000 untuk 1 meter kubik air dimana tarif PDAM rata-rata sekitar Rp. 7.500 s/d Rp. 8.000. PDAM secara rata-rata nasional hanya mampu memenuhi kebutuhan 70 persen konsumen, selebihnya, masyarakat memanfaatkan air sumur yang juga telah tercemar oleh bakteri E-coli.

Dalam jangka panjang, pencemaran ini bahkan dapat menimbulkan akibat yang lebih mengerikan, misalnya jika air sungai itu sama sekali tidak bisa diolah menjadi sumber air minum. Tentu tak terhitung lagi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk pengolahan air bakunya.

Padahal dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia tercatat sebagai negara yang kaya sungai. Di tingkat dunia, Indonesia termasuk 10 negara yang kaya akan air. Data dari Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah menyebut, di seluruh Indonesia terdapat sekitar 5.590 sungai utama. Panjang total sungai utama ini mencapai 94.500 kilometer dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai lebih dari 1.500.000 kilometer persegi.

Sayangnya, "harta Karun" ini tidak diiringi dengan adanya sistem pengelolaaan dan pelestarian sungai yang baik. Seperti di ibu kota, diketahui tidak satu pun sungai di Jakarta yang layak dijadikan air minum, apalagi Ciliwung, yang saban hari kian kotor dan jorok.

Kendati sejumlah aturan sudah dikeluarkan Pemerintah untuk mencegah dan menghukum para perusak sungai, fakta di lapangan tetap menunjukkan tidak mudah mengubah pola kebiasaan masyarakat yang menganggap sungai sebagai "keranjang sampah raksasa" dan membangkitkan kesadaran para pelaku industri untuk dan tanpa harus dipaksa menjalankan kewajiban membuat instalasi pengolahan limbah sebaik mungkin untuk menyaring limbah mereka sebelum dibuang ke sungai.

Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil), kondisi sungai di Indonesia umummnya mengalami penurunan kualitas air. Solusinya adalah pengelolaan sungai secara terpadu. Misalnya dilakukan penertiban pembuangan limbah-limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah industri, serta penghijauan di lahan-lahan yang gundul di sekitar DAS dengan tanaman kayu dan non kayu setidaknya 30 persen.

Di era otonomi dan digital sekarang, sudah seharusnya Pemerintah (pusat & daerah) menggunakan wewenangnya memerangi semua tindakan bahkan menghukum para pelaku yang mencemari sungai dan sumber daya air lainnya. Setidaknya ada tiga komponen yang memiliki kekuasaan untuk menghentikan semua penyebab dari pencemaran sungai yakni Masyarakat, Pemerintah dan DPR/DPRD. Ketiganya harus bersinergi dan berkomitmen maksimal untuk mencegah dan tidak memberi toleransi terhadap pelaku pencemaran sungai.

Masyarakat misalnya, selain tidak melakukan kegiatan yang mencemari sungai seperti tidak membuang sampah ke sungai, maka bersama Pemerintah Daerah ikut mengontrol siapa pun, terutama pelaku industri dan rumah tangga agar tidak membuang limbah mereka secara serampangan ke sungai.

Sementara DPR/DPRD, dapat menekan Pemerintah untuk lebih peduli kepada masalah-masalah pencemaran sungai atau membuat peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur kewajiban adanya penghijauan di daerah hulu dan menjaga kelestariannya agar tidak ada tanah gundul. Ataupun peraturan daerah yang intinya menjaga kelestarian air sungai dari ancaman siapa pun, seperti larangan tegas membuang sampah atau limbah ke sungai-sungai disertai sanksi keras. Jadi mereka yang melakukan pencemaran harus mendapat sanksi yang tegas sesuai peraturan yang ada atau yang dibuat DPR.

Ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan lantaran perilaku masyarakat kita yang permisif tehadap tindak jahat pada sungai-sungai kita. Barangkali mana pernah kita mencegah seseorang yang tiba-tiba membuang sampah ke tengah-tengah aliran sungai. Kalau saya sih sudah pernah menegur secara baik-baik ketika ada orang yang membuang bangkai ke sungai. Cukup berhasil, orang tersebut mendengarkannya dan mengerti. Jadi gak ada salahnya mencoba, asal secara santun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun