Salah  satu nilai  pendidikan yang  teramat penting yang disumbangkan islam kepada  peradapan umat manusia  adalah  keharusan pembinaan jati diri yang kokoh, kuat dan bermartarbat.
Seseorang harus tampil sebagaimana sesungguhnya, tidak boleh mengada-ngada  dalam berbuat  dan bertingkah laku  melainkan harus  tampil sebagaimana sejatinya.
Kata-kata  ideal semacam "katakan sejujurnya", "katakan apa adanya", "tampillah sebagaimana dirimu" merupakan aspek penting dari konsep kedirian yang menjadi cita-cita Islam.
Integritas  atau kepribadian yang kokoh, kuat, dan bermartabat ini menjadi sangat krusial untuk dikembangkan di era kita, karena di tengah masyarakat kita saat ini sedang menggejala atau mewabah apa yang disebut "Budaya Imitatif". Sebuah Budaya yang membuat seseorang beraktivitas, bersikap dan  berperilaku imitatif, penuh kepalsuan dan tidak sebenarnya.
Budaya imitatif yang berkembang di tengah masyarakat kita terlihat dalam berbagai bentuk seperti seseorang yang seharusnya memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, tapi berpenampilan pura-pura miskin, untuk menghindarkan diri  dari kewajiban dalam hal pemberdayaaan seperti pajak dan zakat.
Sungguh mengejutkan data-data kekayaan para penjabat negara yang dilaporkan jauh lebih kecil dari kepemilikan yang sesungguhnya. Pada saat yang sama, banyak tokoh-tokoh kita yang berpenampilan mewah, konsumeris, dan pamer di tengah kondisi bangsa yang dililit utang dan kondisi rakyat yang mengalami kesulitan dan kemiskinan yang demikian parah.
Di kalangan generasi muda budaya imitatif itu muncul dalam bentuk sikap yang demikian cair dan gurita. Kecairan pribadi dan gurita itu dapat disaksikan dalam kenyataan bahwa anak-anak kita sudah enggan mengidolakan orang tuanya.
Jika orang tuanya berambut hitam karena dibesarkan sebagai ''anak singkong'', maka anak-anak kita tidak lagi rela sebagai anak singkong. Dia lebih percaya diri menjadi anak Centucky Fried Chicken, Pizza, dan hot dog, dengan rambut bule yang kuning, kehijau-hijauan atau kemerah-merahan. Mulailah dia mengecet rambutnya, mengecet identitasnya atau sekalian mengecet martabatnya menjadi manusia yang rendah diri sebagai anak negeri, merasa rendah diri di depan manusia-manusia dengan kebudayaann indrawi yang tak bertuhan dan berakhak.
Budaya imitatif yang menyebalkan ini juga telah pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya dan keteladanan para tokoh karena sebagian mereka telah terjebak dalam apa yang disebutkan Hassan Hanafi sebagai "Etika Ambiguitas" yaitu para tokoh mengklaim dirinya sebagai memperjuangkan aspirasi dan hak-hak umat dan kaum yang tertindas, namun pada kenyataannya yang diperjuangkan adalah kepentingan diri-sendiri. (Hassan Hanafi: Religios Dialogue end Revolution). Banyak kelompok yang mengklaim bahwa mereka berjuang untuk umat dan rakyat tetapi nyatanya apa yang mereka perjuangkan adalah untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Begitulah budaya imitatif itu telah menjadi role mode sebagian besar masyarakat kita. Di tengah situasi inilah kita melaksanakan reformasi untuk memperbaiki keadaan masyarakat di berbagai sektor. Di tengah suasana seperti itulah kita membesarkan anak-anak dan cucu-cucu kita agar kelak menjadi anak yang saleh.
Di tengah kondisi yang imitatif itu pula kita memanjatkan doa kepada Tuhan agar mencucurkan rahmat dan karunia-Nya. Akankah kita berhasil mengubah keadaan? Akankah doa dan pinta kita di-ijabah oleh Tuhan? Dan akan muncul sederetan pertanyaaan yang menggugat keaadaan ini.