Kasus hukum yang tumpul terhadap kelompok yang tidak bersebarangan dengan kekuasaan tentu saja misalnya kasus hukum teranyar persoalan suap terhadap mega proyek Meikarta, yang tidak hanya menyeret petinggi konglomerat Lippo Group, juga pejabat pemerintahan di Kota Bekasi. Kasus perizinan proyek Meikarta tersebut, semakin menambah catatan kelam pemerintahan Jokowi, terlebih salah satu menterinya dalam beberapa kesempatan menyatakan Meikarta tidak bermasalah dengan perizinan.
Penegakan Hukum yang Masih Menjadi Harga Mahal
Lebih kurang empat tahun pemerintahan Presiden Jokowi berkuasa, penegakan hukum masih dapat dikatakan buram, bahkan hukum masih digunakan sebagai alat dalam melanggengkan kekuasaan. Yang paling kentara, kasus penegakan hukum dalam ranah pemberantasan korupsi yang masih terkesan tebang pilih, penegakan hukum ternyata masih menjadi sangat tajam terhadap kelompok yang bersebrangan dengan kekuasaan. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan peraturan terbaru (PP 43/2018) yang memotivasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana korupsi  dengan memberikan Rp. 200 juta sebagai imbalan.
Menyisakan satu tahun pemerintahan Jokowi dan dalam  menghadapi  kontestasi politik pada Pilpres 2019, agenda penegakan hukum masih menjadi harga yang mahal untuk kembali ditegakkan. Apatis publik terhadap kemorosotan penegakan hukum di masa pemerintahan Jokowi, tentunya sebagai salah satu bentuk kelemahan yang diyakini akan menjadi serangan politik pada Pilpres 2019.
Penegakan Hukum dalam penguasa rezim saat ini dapat dikatakan sangat buram. Dengan adanya Pilpres 2019, kita berharap kandidat yang bertarung menjadi pemimpin bangsa kelak dapat berkomitmen kuat untuk menegakkan hukum.
Kemudian, tegaknya hukum, tentu saja juga tidak lepas dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang sudah dibentuk di Indonesia. Lembaga ini amat memiliki posisi vital dalam melindungi saksi dan korban dari berbagai ancaman, sekaligus memberi hak-hak mereka, termasuk mengganti identitas mereka atas dasar keamanan.
Saksi dan Korban saya pikir merupakan elemen terpenting dari penegakan hukum. Untuk itu, perlindungan terhadap mereka  miliki posisi penting.
Korban biasanya menjadi pihak yang paling dirugikan atas tindak kejahatan dan amat perlu perlindungan. Begitu juga saksi yang menjadi kunci dari terselesaikannya suatu kasus kejahatan. Bukankah selama ini  yang terjadi, Korban dan Saksi kerap mendapatkan teror dari pelaku tindakan kejahatan! Terlebih, tidak sedikit kasus yang belum terselesaikan dikarenakan banyak dari saksi dan korban enggan memberikan informasi atau keterangan kepada penyidik, dengan alasan tidak merasa ada jaminan keamanan dari berbagai pihak.
Pada Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan saksi dan korban memiliki hak antara lain perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta, memberi keterangan tanpa merasa tertekan dan tanpa bertatap muka dengan tersangka serta bebas dari berbagai ancaman.
Selain itu, korban dan saksi turut memiliki hak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, dirahasiakan identitasnya dan mendapatkan biaya transportasi.
Misalnya saja, korban dari perdagangan manusia dan tindakan kekerasan seksual yang merasa malu untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya. Mereka merasa malu bila kasus ini terbongkar dan menyebar ke masyarakat hingga menjadi aib. Sekarang mereka yang menjadi korban dan saksi perdagangan manusia dan tindakan kekerasan seksual tidak harus merasa takut dan malu, karena undang-undang hukum negara sudah melindungi mereka.