Dan ini bukan berarti bahwa perhiasan-perhiasan tradisional Aceh lainnya tidak mendapat perhatian di pasar perhiasan. Selain Pinto Aceh, perhiasan tradisional Aceh lain yang tak kalah indahnya adalah Boh Dokma, Subang/Anting Aceh, Talo Gulee/Taloe Jaroe, Manek/Manik Krawang.Â
Sayangnya, perhiasan-perhiasan ini sudah sangat langka dan nyaris tidak dikenali lagi oleh orang Aceh sendiri. Hal ini disebabkan oleh surutnya ketrampilan seni tempa emas Aceh dan kurang mahirnya tukang-tukang emas generasi sekarang dalam membuat corak tersebut.
Foto Boh dokma yang merupakan Bagian dari seperangkat perhiasan yang dikenakan wanita Aceh dalam upacara adat. Boh Dogma adalah kancing atas baju adat tradisional Aceh. Terbuat dari emas 16 karat, bentuknya seperti kerucut dengan hiasan bintik-bintik yang melingkar Kancing yang besar mempunyai garis tengah 3 cm. (Sumber foto: http://budaya-indonesia.org)
Subang/Anting Aceh, memiliki diameter dengan ukuran 6-7 cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari yang dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga matahari. (Sumber foto: gpswisataindonesia.blogspot.com)
Taloe Gulee atao Taloe Jaroe (tali jari/gelang), yaitu perhiasan tangan wanita Aceh yang dibuat dari beberapa rantai kecil dan dihiasi dengan bentuk dedaunan yang kecil, dimana terdapat dua bagian kepala (oelee) yang keduanya dihubungkan (disatukan) oleh suatu ganceng (kancing). (Sumber foto: http://atjehpusaka.blogspot.co.id/
Foto Taloe Takue Manek (kalung manik) Krawang, perhiasan wanita Aceh yang dipakai di leher (Sumber foto: http://atjehpusaka.blogspot.co.id/
Kalau pun perhiasan-perhiasan tradisional ini masih terlihat, itu adalah warisan peninggalan lama yang mungkin sengaja dikoleksi dan lumayan langka ditemukan di pasaran. Jenis perhiasan langka ini dapat ditemukan di museum atau di galeri para kolektor barang antik, ataupun pada orang-orang tertentu di Aceh yang masih menyimpannya sebagai warisan benda pusaka.
Motif Perhiasan Pinto Aceh
Seperti yang saya diceritakan di atas, Pinto Aceh merupakan bentuk seni kerajinan yang menggagumkan, terutama dari bentuk motif dan ornamen-ornamennya. Pada awalnya motif perhiasan Pinto Aceh hanya diciptakan untuk bros, terutama jenis perhiasan dada kaum perempuan. Akan tetapi, dalam perkembangannya motif Pinto Aceh terus dikembangkan dalam beberapa jenis perhiasan lainnya. Seperti tusuk sanggul, gelang, subang/anting, cincin, tas, gantungan kunci ataupun untuk peniti baju kebaya. Bahkan kemudian motif Pinto Aceh ini juga dikembangkan untuk perhiasan emas kaum pria berupa jepitan dasi. Misal pada gelang terdiri dari setidaknya 5 Pinto Aceh ukuran Mini gelang. Pada cincin diletakkan pada lingkaran cincin sebagai aksesori jari.
Pada awalnya motif perhiasan Pinto Aceh hanya diciptakan untuk Bros.
Berbagai perhiasan atau aksesoris yang dikembangkan bersama motif Pinto Aceh. (Sumber foto: www.online-instagram.com)
Foto motif Pinto Aceh pada cincin. (Sumber www.bukalapak.com)
Foto motif Pinto Aceh pada tas. (Sumber www.tokopedia.com)
Perhiasan motif Pinto Aceh pada dasarnya terilhami dari desain sebuah monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Pinto Khop, pintu Taman Ghairah atau Bustanussalatin yang merupakan taman Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Menurut riwayat, pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, Pinto Khop ini adalah pintu belakang Keraton Aceh yang dikhususkan untuk pintu keluar masuknya permaisuri Sultan Iskandar Muda beserta dayang-dayangnya. Apabila sang permaisuri menuju ke tepian Krueng Daroy untuk bermandian senantiasa lewat Pinto Khop ini. Sekarang sebagian kecil Taman Ghairah tersebut sudah dipugar dan dikenal dengan Taman Putroe Phang, nama permaisuri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang, Malaysia.
Foto Pinto Khop yang mnejadi inspirasi terciptanya perhiasan motif Pinto Aceh.
Hingga saat ini perhiasan tradisional Pinto Aceh terus berkembang dengan pesat dan masih dapat diproduksi oleh perajin sampai sekarang. Sebagian besar dari perhiasan itu menjadi koleksi dalam Museum Aceh sebagai upaya penyelamatan benda-benda warisan budaya pusaka Aceh dan tidak tergerus arus global dan westenisasi. Dan beberapa orang juga menyimpannya sebagai pusaka serta diwariskan dari generasi ke generasi.
Akhir kata semoga khazanah kekayaan dari seni budaya dan peradaban Aceh harus tetap kita jaga, kita pelihara serta kita pugar untuk kelestariannya sehingga dapat terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh.
~IF~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya