Aceh memiliki beragam seni budaya yang luar biasa, baik dalam betuk tarian, alat musik, seni kerajinan, maupun seni bertutur dalam bentuk sastra lisan dan tulisan.Â
Tahun 2016, kementerian Pendidikaan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia sudah menetapkan lima jenis bentuk karya seni tradisional Aceh tak benda menjadi warisan budaya Indonesia. Ke lima bentuk karya seni tradisional Aceh yang ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia itu adalah Tari Dampeng (Aceh Singkil) Tari Rapai Geleng (Aceh Barat Daya), Tari Rabbani Wahid (Bireuen), Tari Bines (Gayo Lues) dan Perhiasan Pinto Aceh (Pintu Aceh).Â
Dari ke lima jenis karya seni tradisional Aceh yang ditetapkan oleh Kemendibud tersebut, ternyata sebagian besar berasal dari seni tari, hanya satu yang bukan yakni Pinto Aceh. Dari sinilah saya sebagai penulis tertarik untuk mengupas lebih jauh tentang Pinto Aceh yang satu-satunya masuk ke dalam lima besar karya seni tradisional Aceh non tari yang ditetapkan oleh Kemendikbud menjadi warisan budaya Indonesia.
Dari 250 lebih jenis perhiasan tradisional Aceh, perhiasan Pinto Aceh sampai saat ini masih menjadi perhiasan yang paling diminati oleh para pemburu perhiasan di pasaran perhiasan nasional. Dan sekarang Pinto Aceh telah menjadi perhiasan favorit bagi masyarakat di Nusantara. Saya sendiri juga tetarik urtuk membeli perhiasan Pinto Aceh dalam bentuk motif baju, ini dia foto-nya.
Sejarah Awal Pinto Aceh
Berbicara mengenai sejarah awal munculnya perhiasan Pinto Aceh, perhiasan motif Pinto Aceh ternyata sudah muncul pada 1926, ketika pemerintah kolonial Belanda di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) menyelenggarakan satteling (pasar malam) terbesar yang digelar di Esplanade (lapangan Blang Padang). Di pasar malam tersebut pihak Belanda memberi kesempatan kepada para pengrajin emas dan perak untuk membuka stand-nya, guna memamerkan hasil kerajinan serta karya keterampilan tangan mereka.
Setelah pasar malam itu selesai, seorang perajin emas dan perak bernama Mahmud Ibrahim (Utoh Mud), penduduk Blang Oi Banda Aceh, mendapat sertifikat dari panitia satteling.Â
Karena kemahiran dan keterampilannya dalam seni tempa emas. Para pejabat Belanda dan keluarga mereka sering memesan atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh pada Utoh Mud. Kala itu, Utoh Mud dapat ditemui di pusat usaha kerajinan perhiasan, di Jalan Bakongan, Kutaraja. Bangunan tersebut kemudian dibongkar untuk perluasan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Sebagai seorang pengrajin perhiasan emas, Utoh Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi dari pemerintah Belanda itu, pada 1935 menciptakan sebuah perhiasan baru, yaitu Pinto Aceh yang motifnya diambil dari bangunan Pinto Khop.Â
Pada saat itu Utoh Mud hanya membuat satu jenis perhiasan saja berupa perhiasan bros, perhiasan yang sebelumnya memang sudah ada di antara jenis-jenis perhiasan emas tradisional Aceh selain motif Pinto Aceh. Bros Pinto Aceh yang meniru Pinto Khop, bentuknya agak ramping dengan jeruji-jerujinya yang dihiasi motif suluran daun, ditambah lagi dengan rumbai-rumbai sebagai pelengkap pada kedua sisi perhiasan.
Sejak saat itu, Pinto Aceh terus menjadi perhiasan yang sangat popular dan juga paling diminati, tak hanya oleh kaum perempuan di Aceh, melainkan juga oleh perempuan di luar Aceh.Â
Dan kini sebagian besar pelancong baik laki-laki maupun perempuan yang berkunjung ke Aceh seperti dari Jakarta, Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam, jika ingin membeli perhiasan khas Aceh, bisa dipastikan yang dicari adalah perhiasan bermotif Pinto Aceh sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke negerinya. Itu pula sebabnya, hingga sekarang Pinto Aceh masih terus ditempa dengan motif yang semakin halus dan indah, dibandingkan perhiasan Pinto Aceh produksi era 1960 an hingga 1980 an.